Oleh Saiful Deni
Judul tersebut di atas bukanlah sesuatu yang baru dalam
diskursus politik dan pemerintahan lokal dewasa ini. Menjadikan wakil rakyat
sebagai Parlemen atau Dewan Perwakilan Rakyat ditempatkan sebagai salah satu
aktor yang diharapkan berbuat banyak dalam prevensi atau pencegahan praktek korupsi.
Mungkin saja publik menilai bahwa tulisan ini tidak
menemukan titik simpul karena wakil wakyat juga dianggap sebagai bagian dari
sistem pemerintahan yang dianggap belum mampu menunjukkan kinerja pengawasan
dengan baik. Penulis juga tidak berasumsi bahwa wakil rakyat kita tidak
memiliki komitmen politik, atau sejenisnya. Hanya ada satu pertanyaan awal,
dapatkah wakil rakyat kita berbuat untuk kepentingan rakyat, menyelamatkan uang
negara, mengawasi belanja uang negara untuk kepentingan publik. Dengan kata
lain, tulisan ini sah secara delibratif, karena konteks demokrasi prosedural
memberikan peluang para konstituen untuk menuntut wakil rakyatnya bekerja
sepenuh waktu, mengekatkan ikat pinggang, sambil menjaga kredibilitas
kelembagaannya.
Sudah banyak suara-suara rakyat yang berharap penuh atas
institusi wakil rakyat sebagai lembaga yang strategis dalam memformulasikan dan
mengembangkan berbagai produk hukum dan pembangunan daerah. Tentu saja regulasi
itu penting terutama mencegah terjadinya penyimpangan pembangunan dan
penyalahgunaan dana-dana pembangunan. Seorang maestro Ilmu Politik Barat
kontemporer, Ian Shapiro (2003) mengilustrasikan, wakil rakyat ibarat malaikat
politik yang mencerahkan bagi negara dan bukan berorientasi pada kepentingan
individu atau melakukan tindakan korupsi. Namun, apakah wakil rakyat kita
ikhlas disebut malaikat politik, yang suci, dalam bahasa sehari-hari orang yang
menjadi panutan rakyat dan bermanfaat banyak bagi rakyat. Ini bukanlah sebuah
sindiran tetapi doa. Doa yang diharapkan seluruh rakyat Maluku Utara agar 5
tahun ke depan, komitmen politik itu dapat diwujudkan.
Rakyat mungkin hanya tahu bahwa wakil rakyat itu mengabdi
untuk dan atas nama rakyat. Ada saatnya, wakil rakyat berkomitmen atas nama
dirinya maupun institusi parlemen untuk tidak mempraktekkan penyalahgunaan
kekuaasan dalam pembuatan legislasi. Jeremy Bentham, salah seorang ahli hukum
dan Tata Negara Inggris Raya, 100 tahun silam dengan resah melihat tindak
tanduk wakil rakyat di sentral kekuasaan politik Inggris. Betapa tidak, Bentham
memahami benar bahwa legislasi menjadi agenda utama, berorientasi pada hal-hal
yang dianggap bermanfaat atau berguna dengan prinsip-prinsip utilitas bagi
negara dan masyarakat. Sebab Bentham menemukan bahwa tugas para wakil rakyat
rentan terhadap transaksi korupsi yang selalu terjadi dalam bentuk negosiasi,
kompromi dan koalisi disaat sebuah produk hukum diputuskan.
Nah, Pope (2007) meneliti di beberapa negara maju maupun
negara berkembang lainnya, menemukan hal yang sama. Pope menyindir wakil rakyat
berada pada posisi yang krusial karena sistem yang dibangun dipraktekkan dengan
selalu mempermainkan tujuan-tujuan pemerintah sebagai aktor untuk melaksanakan
kebijakan pembangunan. Pope mengatakan, keberlanjutan pembangunan tergantung
moralitas para wakil rakyat untuk memperjuangkan kepentingan rakyat dan
memahami eksistensi dalam memperjuangkan kepentingan rakyat.
Bentham menyarankan agar wakil rakyat harus mempertimbangkan
beberapa prinsip-prinsip utilitas dalam sebuah legislasi untuk mengurangi
penyimpangan diantaranya (1) suatu legislasi harus berdasarkan pada kebaikan,
kedaulatan, perasaan sakit dan senang yang dialami rakyat menjadi pertimbangan
pemerintah, (2) prinsip dari utilitas (azas manfaat) dijadikan sebagai fondasi
dalam melaksanakan kerja-kerja pemerintah, (3) objek-objek yang harus dihindari
adalah menghasilkan profit, keuntungan, dan kesenangan, (4) kepentingan
masyarakat harus menjadi faktor utama sebagai ekspresi dalam mewujudkan
moralitas para Dewan, (5) mempertimbangkan kepentingan masyarakat, maka
mengenal lebih awal kepentingan individu, (6) konsep tentang kesenangan bagi
masyarakat menjadi prinsip utilitas bagi kecenderungan Dewan, (7) pengukuran
kinerja pemerintah atau aksi-aksinya juga mengutamakan kinerja individu untuk
mendeteksi kecenderungan apa yang dilakukan.
Prinsip-prinsip utilitas di atas dapat dijadikan sebagai
fondasi dalam mengurangi atau memperkecil kesempatan wakil rakyat untuk
mempunyai kecenderungan lain dalam penyalahgunakan kekuasaan di saat merumuskan
dan mengawasi berbagai produk hukum dalam pembangunan. Idealnya,
prinsip-prinsip utilitas itu diaplikasikan dalam kerja-kerja wakil rakyat untuk
mencegah terjadinya perbuatan buruk disaat memegang sebuah kekuasaan.
Memang perbuatan korupsi dapat menundukkan dan mempengaruhi
para anggota wakil rakyat dalam kekuasaan. Dan ini sudah memberikan sejumlah
bukti berupa kelalaian dari kontrol yang dilakukan wakil rakyat. Pada umumnya
tindakan korupsi merupakan perbuatan meragukan kejujuran antara perjuangan dan
kepatuhan. Goodnow (1914) silam berkisah, monopoli dan korupsi terhadap
institusi sekecil apapun akan meluas dan memperbesar pada institusi yang lain.
Goodnow juga mengingatkan kepada masyarakat Wakil rakyat merupakan representasi
dari rakyat yang secara ideal harus memperjuangkan kepentingan publik, bukan
sebaliknya, menghancurkan tujuan-tujuan dalam mensejahterakan rakyat. Jika
membelakangi rakyat sebagai pilihannya, wakil rakyat akan menuai dosa politik,
lalai terhadap kontrak politik dan menginjak-injak sumpah dan janji
pengabdiannya terhadap negara dan bangsa. Akibatnya gelombang protes,
delegimitasi, mosi tidak percaya, akan membesar dan menggulung agenda
politiknya. Misalnya, produk legislasi yang diputuskan dan dilakukan dari satu
sidang ke sidang lainnya selalu mengundang tujuan kontroversial dengan hati
nurani rakyat.
Krusialnya persoalan yang dihadapi wakil rakyat bukanlah
suatu hal yang ditutup-tutupi. Ammah (1999), menilai perilaku wakil rakyat
dalam legislasi sering memaksimalkan kompetisi, penawaran dan kontraktor dalam
berbagai kepentingan pribadi. Pencegahan yang menjadi prioritas utama adalah
mempertinggi transparansi dan objektifitas dalam mempromosikan ekonomi yang
efisien untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan.
Kekuasaan wakil rakyat dan pejabat birokrat dalam sistem
pemerintah demokratis memiliki peran yang luas untuk mencegah korupsi. Idealnya
wakil rakyat sebagai salah satu aktor dalam menjalankan berbagai representasi
rakyat harus mempertimbangkan dimensi-dimensi dan permasalahan dari pentingnya
memahami situasi dan unsur mana yang perlu dilakukan sebagai taktik dalam
mencegah terjadinya korupsi. Kecenderungan dalam mencegah korupsi yang perlu
dibutuhkan Dewan sebagai kekuatan dan komitmen independen untuk tidak
mencampuri urusan pemerintah (Stapenhurst and Kpundeh,1999).
Untuk memperbaiki kinerja wakil rakyat dalam pencegahan
korupsi, aktor dan institusinya perlu diikhtiarkan dengan tujuan reformasi
ekonomi, deregulasi dan birokratisasi, pajak, anggaran, dan privatisasi.
Perhatian wakil rakyat ini merupakan peta dari kebijakan dalam mencegah
korupsi. Karena unsur-unusr yang disebutkan di atas menjadi arena kompetisi
yang besar dan keinginan dari praktek-praktek terjadinya korupsi. Proses
pencegahan dari tindakan korupsi tidak saja dilakukan oleh pejabat negara,
tetapi masyarakat juga memiliki peran dan keberanian untuk melaporkan ke
lembaga yang menangani perkara-perkara korupsi.
Proses dan kerangka yang harus disiapkan sebagai panduan
dalam mencegah korupsi menegaskan kembali tentang pencegahan dan hukuman
(prevention and punishment) melalui pendidikan, sosialisasi dan komunikasi yang
mendasar. Kekuatan komitmen sistem politik akan sangat berpengaruh pada
efektifitas untuk mengurangi terjadinya korupsi.
Dalam pandangan Stapenhurst dan Kpundeh (1999) menegaskan
bahwa elemen-elemen dari suksesnya suatu strategi anti korupsi, pertama;
Masalah fundamental ,(1) Pendekatan Adat (2) Kehendak Baik, (3) Akuntbailitas
Pemerintahan. Kedua; Program, (1) fokus dan prioritas yang mendasar, (2) Pendekatan
Holistik. Ketiga; Cara mencegah secara legal. Keempat; pelatihan. Kelima;
Jangkauan Publik . Keenam; Reformasi Dampak. Ketujuh; partisipasi komunitas
internasional. Kedelapan; nilai dan persepsi.
Elemen-elemen strategi suksesnya pencegahan korupsi dari
ketujuh strategi di atas harus dilandasi dengan etika lingkungan, tujuan, dan
intensitas legislasi, kode, dan aturan yang berperilaku. Sebab kebanyakan
strategi yang begitu bagus tidak menjamin suatu keberhasilan dalam mencegah
terjadinya korupsi. Dibtuuhkan strategi, kemampuan, dan etika dari wakil rakyat
sangat memungkinkan korupsi dapat diberantas dengan pendekatan yang
multistrategi serta membuat kategori-kategori strategi dalam keberhasilan untuk
mengurangi korupsi. Di sini betapa pentingnya pengaturan Tata Tertib wakil
rakyat dan fungsi kontrol Badan Kehormatan Dewan.
Strategi keberhasilan yang dimaksudkan di atas, sebagaimana
dijelaskan (Pope,1999) berupa (1) pencegahan korupsi diarahkan pada program
yang dibuat pemerintah didesain untuk lebih efisien bagi wakil rakyat dan
birokrasi pemerintah yang selalu bergumul dengan masalah-masalah
kemasyarakatan. (2) Penegakkan independen, menekankan pada berjalannya
mekanisme dan implementasi dalam mendeteksi dan memberi hukuman dari perbuatan
korupsi. Penegakan independen memerlukan kekuatan eksekutor untuk menegakkan
komitmen dan norma. (3) Adanya kesadaran publik. Publik harus memahami bahwa
perbuatan korupsi berakibat fatal terhadap masa depan kemanusiaan. (4)
Membangun institusi. Menekankan pada rekrutmen para penyelenggara negara dengan
yang selalu memahami aturan dan etika dalam menjalankan kekuasaan. Membangun
dan mengijinkan lembaga lain untuk melakukan evaluasi terhadap kinerja lembaga
negara.
Model Koneksi antara Wakil Rakyat, Pemerintah dan Koalisi
Membangun institusi dan membuka diri untuk dievaluasi
meniscayakan suatu langkah untuk berkoalisi dengan menerapkan strategi-strategi
dalam mengurangi korupsi antara wakil rakyat, pemerintah dan lembaga yang
dijadikan sebagai anggota koalisi yang bersih dari konflik kepentingan dan
memiliki komitmen untuk menjunjung tinggi suatu keadilan dalam penyelenggaraan
negara. Model koneksi antara wakil rakyat, Pemerintah dan koalisi. Dalam
berbagai kasus, koalisi partai pemerintah (Governmental Parties) mempraktekkan
hal tersebut. Dalam model ini banyak indkator strategi yang dapat mengurangi
korupsi yaitu dalam bentuk pembagian peran. Komitmen terhadap kerja sama dalam
menuntaskan korupsi menjadi prioritas dari koalisi yang dibangun oleh setiap
lembaga yang terlibat di dalamnya. Dengan tidak menafikkan atau meniadakan satu
dengan yang lain.
Michael Johnston (2006) menyarankan mengenai strategi untuk
mencegah korupsi dapat dilakukan melalui proses tahapan dalam membangun
koalisi: Pertama; Formasi, dimana inti dari koalisi untuk mengorganisir,
mengidentifikasi agenda dan bentuk pemimpin sejak dini. Kedua; Kredibilitas, di
mana mendemonstrasikan koalisi dengan tindakan yang efektif dan melalui
dukungan stakeholder yang bervariasi dan konstituen. Ketiga; Ekspansi, yaitu langkah
keutamaan untuk mengkritisi organisasi kecil yang dibangun pembatasan sosial
dan didasarkan pada sumber daya sebagai hubungan penguat secara efektif.
Keempat; Transformasi, membangun koalisi dengan tidak sekedar melihat sebagai
pusat pertumbuhan, namun mengambil inisiatif dalam banyak bentuk untuk
menggambarkan kekuatan dari sumber daya di atas. Proses pencegahan korupsi yang
dibangun dari koalisi di atas sebagai orientasi dari substansi dan
tanggunggjawab pemerintah dan wakil rakyat melalui legislasi dan perwakilan.
Sasaran dari strategi untuk ditujukkan pada isu-isu yang berhubungan dengan
keuangan partai politik, Etika Dewan, bekerjasama dengan kekuatan parlemen
lokal, nasional bahkan internasional untuk melawan korupsi (Stapenhurst,et.al,
2006). Inti dari peran dewan yang terbaik untuk memahami paling tidak tentang
masalah-masalah yang selalu dihadapi masyarakat.
Untuk dapat mewujudkan strategi pencegahan korupsi
Legislatif, (United Nations, 2006), mengusulkan agar wakil rakyat selalu
berprinsip untuk menegakkan; (1) aturan dan hukum, (2) pengelolaan
masalah-masalah publik dan miliki publik dengan tepat, (3) integritas wakil
rakyat atas nama rakyat dan bukan konflik kepentingan, (4), transparansi
berbagai produk aturan yang diputuskan, (5) akuntabilitas yang menyentuh ruh
kehidupan rakyat. Hal ini yang seharusnya dipegang oleh wakil rakyat di
Indonesia. Fungsi dan kewajiban Dewan Perwakilan rakyat direkonstruksi sehingga
sensitif terhadap berbagai perubahan dan sistem kenegaraan yang tidak status quo,
karena selama ini implementasi terhadap fungsi Dewan seperti; legislasi,
pegawasan/kontrol, dan penganggaran mengalami bias fungsi.
Komitmen Saja Belum Cukup
Salah satu aktor yang juga menentukan pemberantasan korupsi
ke depan adalah memaksimalkan peran wakil rakyat dalam proses pencegahan
korupsi di lembaga tersebut. Wakil rakyat sebenarnya memiliki kesempatan yang
besar untuk pencegahan korupsi, karena peran dan fungsi menyentuh langsung pada
aktivitas lembaga, seperti bagaimana penyusunan anggaran, pembuatan legislasi,
dan kontrol terhadap pembangunan yang sedang berjalan. Fungsi-fungsi tersebut
menjadi peluang bagi aktor dan elit politik untuk memperbaiki dan memajukan dan
mensejahterakan rakyat dan sebaliknya bisa saja menciptakan konflik kepentingan,
mencari keuntungan dan bahkan demi kepentingan menghalalkan berbagai cara untuk
mendapatkan apa yang dicita-citakan.
Kontrol terhadap peran dan fungsi wakil rakyat itu dapat
dilakukan melalui model koneksi antara pemerintah, wakil rakyat, dan para stakeholder
dapat berkoalisi untuk menghindari perbuatan korupsi. Pada model tersebut
sasarannya adalah membangun komitmen, menerima resiko dan memperjuangan nilai
sebagai suatu perbuatan yang baik. Secara ideal fungsi-fungsi yang dibangun
wakil rakyat setidaknya mempertimbangkan dan melihat realitas masyarakat dan
kepentingan negara yang lebih besar. Inilah yang diharapkan oleh rakyat dalam
proses legislasi. Produknya yang dihasilkan harus berorientasi pada
mensejahterakan rakyat dan membahagiakan rakyat banyak. Mampukah wakil rakyat
melawan korupsi? Publik tidak hanya berharap banyak pada kata-kata komitmen,
kini wakil rakyat diberikan tanggung jawab sosial yang besar.
Sumber Bacaan
United Nations, 2006. Legislatif Guide for the
Implementation of the United Nations Convention against Corruption. United
Nations Publication New York.
Johnston, Michael, 2006. Buildong Coalitions: Parliaments
Civil Society, and Corruption Control, in
Stapenhurst, Risck, (edited) et.al.
The Role of Parliament in Curbing Corruption, Word Bank Institute, Wangshington
D.C
Tidak ada komentar:
Posting Komentar