Halaman

Sabtu, 23 Juni 2012

WAKIL RAKYAT MELAWAN KORUPSI, MAMPUKAH?


Oleh Saiful Deni

Judul tersebut di atas bukanlah sesuatu yang baru dalam diskursus politik dan pemerintahan lokal dewasa ini. Menjadikan wakil rakyat sebagai Parlemen atau Dewan Perwakilan Rakyat ditempatkan sebagai salah satu aktor yang diharapkan berbuat banyak dalam prevensi atau pencegahan praktek korupsi.

Mungkin saja publik menilai bahwa tulisan ini tidak menemukan titik simpul karena wakil wakyat juga dianggap sebagai bagian dari sistem pemerintahan yang dianggap belum mampu menunjukkan kinerja pengawasan dengan baik. Penulis juga tidak berasumsi bahwa wakil rakyat kita tidak memiliki komitmen politik, atau sejenisnya. Hanya ada satu pertanyaan awal, dapatkah wakil rakyat kita berbuat untuk kepentingan rakyat, menyelamatkan uang negara, mengawasi belanja uang negara untuk kepentingan publik. Dengan kata lain, tulisan ini sah secara delibratif, karena konteks demokrasi prosedural memberikan peluang para konstituen untuk menuntut wakil rakyatnya bekerja sepenuh waktu, mengekatkan ikat pinggang, sambil menjaga kredibilitas kelembagaannya.


Sudah banyak suara-suara rakyat yang berharap penuh atas institusi wakil rakyat sebagai lembaga yang strategis dalam memformulasikan dan mengembangkan berbagai produk hukum dan pembangunan daerah. Tentu saja regulasi itu penting terutama mencegah terjadinya penyimpangan pembangunan dan penyalahgunaan dana-dana pembangunan. Seorang maestro Ilmu Politik Barat kontemporer, Ian Shapiro (2003) mengilustrasikan, wakil rakyat ibarat malaikat politik yang mencerahkan bagi negara dan bukan berorientasi pada kepentingan individu atau melakukan tindakan korupsi. Namun, apakah wakil rakyat kita ikhlas disebut malaikat politik, yang suci, dalam bahasa sehari-hari orang yang menjadi panutan rakyat dan bermanfaat banyak bagi rakyat. Ini bukanlah sebuah sindiran tetapi doa. Doa yang diharapkan seluruh rakyat Maluku Utara agar 5 tahun ke depan, komitmen politik itu dapat diwujudkan.

Rakyat mungkin hanya tahu bahwa wakil rakyat itu mengabdi untuk dan atas nama rakyat. Ada saatnya, wakil rakyat berkomitmen atas nama dirinya maupun institusi parlemen untuk tidak mempraktekkan penyalahgunaan kekuaasan dalam pembuatan legislasi. Jeremy Bentham, salah seorang ahli hukum dan Tata Negara Inggris Raya, 100 tahun silam dengan resah melihat tindak tanduk wakil rakyat di sentral kekuasaan politik Inggris. Betapa tidak, Bentham memahami benar bahwa legislasi menjadi agenda utama, berorientasi pada hal-hal yang dianggap bermanfaat atau berguna dengan prinsip-prinsip utilitas bagi negara dan masyarakat. Sebab Bentham menemukan bahwa tugas para wakil rakyat rentan terhadap transaksi korupsi yang selalu terjadi dalam bentuk negosiasi, kompromi dan koalisi disaat sebuah produk hukum diputuskan.
Nah, Pope (2007) meneliti di beberapa negara maju maupun negara berkembang lainnya, menemukan hal yang sama. Pope menyindir wakil rakyat berada pada posisi yang krusial karena sistem yang dibangun dipraktekkan dengan selalu mempermainkan tujuan-tujuan pemerintah sebagai aktor untuk melaksanakan kebijakan pembangunan. Pope mengatakan, keberlanjutan pembangunan tergantung moralitas para wakil rakyat untuk memperjuangkan kepentingan rakyat dan memahami eksistensi dalam memperjuangkan kepentingan rakyat.

Bentham menyarankan agar wakil rakyat harus mempertimbangkan beberapa prinsip-prinsip utilitas dalam sebuah legislasi untuk mengurangi penyimpangan diantaranya (1) suatu legislasi harus berdasarkan pada kebaikan, kedaulatan, perasaan sakit dan senang yang dialami rakyat menjadi pertimbangan pemerintah, (2) prinsip dari utilitas (azas manfaat) dijadikan sebagai fondasi dalam melaksanakan kerja-kerja pemerintah, (3) objek-objek yang harus dihindari adalah menghasilkan profit, keuntungan, dan kesenangan, (4) kepentingan masyarakat harus menjadi faktor utama sebagai ekspresi dalam mewujudkan moralitas para Dewan, (5) mempertimbangkan kepentingan masyarakat, maka mengenal lebih awal kepentingan individu, (6) konsep tentang kesenangan bagi masyarakat menjadi prinsip utilitas bagi kecenderungan Dewan, (7) pengukuran kinerja pemerintah atau aksi-aksinya juga mengutamakan kinerja individu untuk mendeteksi kecenderungan apa yang dilakukan.

Prinsip-prinsip utilitas di atas dapat dijadikan sebagai fondasi dalam mengurangi atau memperkecil kesempatan wakil rakyat untuk mempunyai kecenderungan lain dalam penyalahgunakan kekuasaan di saat merumuskan dan mengawasi berbagai produk hukum dalam pembangunan. Idealnya, prinsip-prinsip utilitas itu diaplikasikan dalam kerja-kerja wakil rakyat untuk mencegah terjadinya perbuatan buruk disaat memegang sebuah kekuasaan.

Memang perbuatan korupsi dapat menundukkan dan mempengaruhi para anggota wakil rakyat dalam kekuasaan. Dan ini sudah memberikan sejumlah bukti berupa kelalaian dari kontrol yang dilakukan wakil rakyat. Pada umumnya tindakan korupsi merupakan perbuatan meragukan kejujuran antara perjuangan dan kepatuhan. Goodnow (1914) silam berkisah, monopoli dan korupsi terhadap institusi sekecil apapun akan meluas dan memperbesar pada institusi yang lain. Goodnow juga mengingatkan kepada masyarakat Wakil rakyat merupakan representasi dari rakyat yang secara ideal harus memperjuangkan kepentingan publik, bukan sebaliknya, menghancurkan tujuan-tujuan dalam mensejahterakan rakyat. Jika membelakangi rakyat sebagai pilihannya, wakil rakyat akan menuai dosa politik, lalai terhadap kontrak politik dan menginjak-injak sumpah dan janji pengabdiannya terhadap negara dan bangsa. Akibatnya gelombang protes, delegimitasi, mosi tidak percaya, akan membesar dan menggulung agenda politiknya. Misalnya, produk legislasi yang diputuskan dan dilakukan dari satu sidang ke sidang lainnya selalu mengundang tujuan kontroversial dengan hati nurani rakyat.

Krusialnya persoalan yang dihadapi wakil rakyat bukanlah suatu hal yang ditutup-tutupi. Ammah (1999), menilai perilaku wakil rakyat dalam legislasi sering memaksimalkan kompetisi, penawaran dan kontraktor dalam berbagai kepentingan pribadi. Pencegahan yang menjadi prioritas utama adalah mempertinggi transparansi dan objektifitas dalam mempromosikan ekonomi yang efisien untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan.

Kekuasaan wakil rakyat dan pejabat birokrat dalam sistem pemerintah demokratis memiliki peran yang luas untuk mencegah korupsi. Idealnya wakil rakyat sebagai salah satu aktor dalam menjalankan berbagai representasi rakyat harus mempertimbangkan dimensi-dimensi dan permasalahan dari pentingnya memahami situasi dan unsur mana yang perlu dilakukan sebagai taktik dalam mencegah terjadinya korupsi. Kecenderungan dalam mencegah korupsi yang perlu dibutuhkan Dewan sebagai kekuatan dan komitmen independen untuk tidak mencampuri urusan pemerintah (Stapenhurst and Kpundeh,1999).

Untuk memperbaiki kinerja wakil rakyat dalam pencegahan korupsi, aktor dan institusinya perlu diikhtiarkan dengan tujuan reformasi ekonomi, deregulasi dan birokratisasi, pajak, anggaran, dan privatisasi. Perhatian wakil rakyat ini merupakan peta dari kebijakan dalam mencegah korupsi. Karena unsur-unusr yang disebutkan di atas menjadi arena kompetisi yang besar dan keinginan dari praktek-praktek terjadinya korupsi. Proses pencegahan dari tindakan korupsi tidak saja dilakukan oleh pejabat negara, tetapi masyarakat juga memiliki peran dan keberanian untuk melaporkan ke lembaga yang menangani perkara-perkara korupsi.

Proses dan kerangka yang harus disiapkan sebagai panduan dalam mencegah korupsi menegaskan kembali tentang pencegahan dan hukuman (prevention and punishment) melalui pendidikan, sosialisasi dan komunikasi yang mendasar. Kekuatan komitmen sistem politik akan sangat berpengaruh pada efektifitas untuk mengurangi terjadinya korupsi.

Dalam pandangan Stapenhurst dan Kpundeh (1999) menegaskan bahwa elemen-elemen dari suksesnya suatu strategi anti korupsi, pertama; Masalah fundamental ,(1) Pendekatan Adat (2) Kehendak Baik, (3) Akuntbailitas Pemerintahan. Kedua; Program, (1) fokus dan prioritas yang mendasar, (2) Pendekatan Holistik. Ketiga; Cara mencegah secara legal. Keempat; pelatihan. Kelima; Jangkauan Publik . Keenam; Reformasi Dampak. Ketujuh; partisipasi komunitas internasional. Kedelapan; nilai dan persepsi.

Elemen-elemen strategi suksesnya pencegahan korupsi dari ketujuh strategi di atas harus dilandasi dengan etika lingkungan, tujuan, dan intensitas legislasi, kode, dan aturan yang berperilaku. Sebab kebanyakan strategi yang begitu bagus tidak menjamin suatu keberhasilan dalam mencegah terjadinya korupsi. Dibtuuhkan strategi, kemampuan, dan etika dari wakil rakyat sangat memungkinkan korupsi dapat diberantas dengan pendekatan yang multistrategi serta membuat kategori-kategori strategi dalam keberhasilan untuk mengurangi korupsi. Di sini betapa pentingnya pengaturan Tata Tertib wakil rakyat dan fungsi kontrol Badan Kehormatan Dewan.

Strategi keberhasilan yang dimaksudkan di atas, sebagaimana dijelaskan (Pope,1999) berupa (1) pencegahan korupsi diarahkan pada program yang dibuat pemerintah didesain untuk lebih efisien bagi wakil rakyat dan birokrasi pemerintah yang selalu bergumul dengan masalah-masalah kemasyarakatan. (2) Penegakkan independen, menekankan pada berjalannya mekanisme dan implementasi dalam mendeteksi dan memberi hukuman dari perbuatan korupsi. Penegakan independen memerlukan kekuatan eksekutor untuk menegakkan komitmen dan norma. (3) Adanya kesadaran publik. Publik harus memahami bahwa perbuatan korupsi berakibat fatal terhadap masa depan kemanusiaan. (4) Membangun institusi. Menekankan pada rekrutmen para penyelenggara negara dengan yang selalu memahami aturan dan etika dalam menjalankan kekuasaan. Membangun dan mengijinkan lembaga lain untuk melakukan evaluasi terhadap kinerja lembaga negara.

Model Koneksi antara Wakil Rakyat, Pemerintah dan Koalisi

Membangun institusi dan membuka diri untuk dievaluasi meniscayakan suatu langkah untuk berkoalisi dengan menerapkan strategi-strategi dalam mengurangi korupsi antara wakil rakyat, pemerintah dan lembaga yang dijadikan sebagai anggota koalisi yang bersih dari konflik kepentingan dan memiliki komitmen untuk menjunjung tinggi suatu keadilan dalam penyelenggaraan negara. Model koneksi antara wakil rakyat, Pemerintah dan koalisi. Dalam berbagai kasus, koalisi partai pemerintah (Governmental Parties) mempraktekkan hal tersebut. Dalam model ini banyak indkator strategi yang dapat mengurangi korupsi yaitu dalam bentuk pembagian peran. Komitmen terhadap kerja sama dalam menuntaskan korupsi menjadi prioritas dari koalisi yang dibangun oleh setiap lembaga yang terlibat di dalamnya. Dengan tidak menafikkan atau meniadakan satu dengan yang lain.

Michael Johnston (2006) menyarankan mengenai strategi untuk mencegah korupsi dapat dilakukan melalui proses tahapan dalam membangun koalisi: Pertama; Formasi, dimana inti dari koalisi untuk mengorganisir, mengidentifikasi agenda dan bentuk pemimpin sejak dini. Kedua; Kredibilitas, di mana mendemonstrasikan koalisi dengan tindakan yang efektif dan melalui dukungan stakeholder yang bervariasi dan konstituen. Ketiga; Ekspansi, yaitu langkah keutamaan untuk mengkritisi organisasi kecil yang dibangun pembatasan sosial dan didasarkan pada sumber daya sebagai hubungan penguat secara efektif. Keempat; Transformasi, membangun koalisi dengan tidak sekedar melihat sebagai pusat pertumbuhan, namun mengambil inisiatif dalam banyak bentuk untuk menggambarkan kekuatan dari sumber daya di atas. Proses pencegahan korupsi yang dibangun dari koalisi di atas sebagai orientasi dari substansi dan tanggunggjawab pemerintah dan wakil rakyat melalui legislasi dan perwakilan. Sasaran dari strategi untuk ditujukkan pada isu-isu yang berhubungan dengan keuangan partai politik, Etika Dewan, bekerjasama dengan kekuatan parlemen lokal, nasional bahkan internasional untuk melawan korupsi (Stapenhurst,et.al, 2006). Inti dari peran dewan yang terbaik untuk memahami paling tidak tentang masalah-masalah yang selalu dihadapi masyarakat.

Untuk dapat mewujudkan strategi pencegahan korupsi Legislatif, (United Nations, 2006), mengusulkan agar wakil rakyat selalu berprinsip untuk menegakkan; (1) aturan dan hukum, (2) pengelolaan masalah-masalah publik dan miliki publik dengan tepat, (3) integritas wakil rakyat atas nama rakyat dan bukan konflik kepentingan, (4), transparansi berbagai produk aturan yang diputuskan, (5) akuntabilitas yang menyentuh ruh kehidupan rakyat. Hal ini yang seharusnya dipegang oleh wakil rakyat di Indonesia. Fungsi dan kewajiban Dewan Perwakilan rakyat direkonstruksi sehingga sensitif terhadap berbagai perubahan dan sistem kenegaraan yang tidak status quo, karena selama ini implementasi terhadap fungsi Dewan seperti; legislasi, pegawasan/kontrol, dan penganggaran mengalami bias fungsi.

Komitmen Saja Belum Cukup

Salah satu aktor yang juga menentukan pemberantasan korupsi ke depan adalah memaksimalkan peran wakil rakyat dalam proses pencegahan korupsi di lembaga tersebut. Wakil rakyat sebenarnya memiliki kesempatan yang besar untuk pencegahan korupsi, karena peran dan fungsi menyentuh langsung pada aktivitas lembaga, seperti bagaimana penyusunan anggaran, pembuatan legislasi, dan kontrol terhadap pembangunan yang sedang berjalan. Fungsi-fungsi tersebut menjadi peluang bagi aktor dan elit politik untuk memperbaiki dan memajukan dan mensejahterakan rakyat dan sebaliknya bisa saja menciptakan konflik kepentingan, mencari keuntungan dan bahkan demi kepentingan menghalalkan berbagai cara untuk mendapatkan apa yang dicita-citakan.

Kontrol terhadap peran dan fungsi wakil rakyat itu dapat dilakukan melalui model koneksi antara pemerintah, wakil rakyat, dan para stakeholder dapat berkoalisi untuk menghindari perbuatan korupsi. Pada model tersebut sasarannya adalah membangun komitmen, menerima resiko dan memperjuangan nilai sebagai suatu perbuatan yang baik. Secara ideal fungsi-fungsi yang dibangun wakil rakyat setidaknya mempertimbangkan dan melihat realitas masyarakat dan kepentingan negara yang lebih besar. Inilah yang diharapkan oleh rakyat dalam proses legislasi. Produknya yang dihasilkan harus berorientasi pada mensejahterakan rakyat dan membahagiakan rakyat banyak. Mampukah wakil rakyat melawan korupsi? Publik tidak hanya berharap banyak pada kata-kata komitmen, kini wakil rakyat diberikan tanggung jawab sosial yang besar.

Sumber Bacaan

United Nations, 2006. Legislatif Guide for the Implementation of the United Nations Convention against Corruption. United Nations Publication New York.

Johnston, Michael, 2006. Buildong Coalitions: Parliaments Civil Society, and Corruption Control, in 

Stapenhurst, Risck, (edited) et.al. The Role of Parliament in Curbing Corruption, Word Bank Institute, Wangshington D.C

Tidak ada komentar: