Halaman

Sabtu, 23 Juni 2012

BIROKRASI KEKUASAAN VERSUS BIROKRASI PELAYANAN


Oleh Saiful Deni

 
SECARA diakronis wajah  birokrasi pemerinatah di Indonesia, yang dimulai dari masa kekuasaan Orde Baru sampai Era Reformasi.  memiliki kualitas birokrasi dan kondisi yang tidak berubah artinya lembaga birokrasi masih dijadikan sebagai sasaran empuk para elit politik maupun birokrat dalam melanggengkan kekuasaannya. Kekuasaan tersebut adalah dalam hal proses penyelenggaraan pelayanan publik menjadi sesuatu yang menakutkan bagi warga bangsa ketika masuk berurusan dengan birokrasi.  Hal ini ditandai dengan pelbagai prosedure dan syarat yang menyulitkan, tidak ada tranparansi, tidak memudahkan bagi masyarakat  dari apa yang dibutuhkannya, misalnya mengurusi KTP, Akte Kelahiran, dan surat-surat perijinan lainnya menjadi sesuatu yang sacral-sentralistik.


Padahal eksistensi birokrasi untuk melayani kebutuhan masyarakat/pengguna jasa bahkan adanya birokrasi merupakan kehendak masyarakat dan negara dalam rangka mencapi tujuan-tujuan yang dinginkan bersama, sehingga yang menentukan ada tidaknya birokrasi tergantung pada kebutuhkan yang harus dilayani oleh birokrasi terhadap masyarakat.  Karena sebuah negara dikatakan  sehat dalam proses penyelenggaraannya apabila kondisi birokrasi dapat berfungsi sebagai jantung negara (Setiono, 2002).  Artinya birokrasi diharapkan menjembatani kepentingan dan konflik masyarakat dan negara serta mitra dalam membangun negara kearah yang lebih baik tanpa benturan dan menghindari dari akibat-akibat yang ditimbulkan oleh kedua unsur tersebut.  Lalu muncul permasalahan apa yang harus dilakukan birokrasi kekuasaan untuk menuju sebuah birokrasi yang selalu memihak kepada rakyat ?  Pertanyaan ini perlu direspon oleh aparat birokrat dengan selalu meningkatkan kualitas pelayanan dan professionalisme kerja di setiap lembaga pelayanan publik.

Birokrasi Kekuasaan

Dalam paradigma kekuasaan raja,  masyarakat sebagai objek atau sasaran yang dituju dengan tidak banyak memberikan pertimbangan dan alasan dalam menghadapi birokrasi kekuasaan raja apapun yang dilakukan oleh seorang raja tidak bisa dibantah oleh seorang abdi Atau dengan kata lain bahwa birokrasi kekuasaan dalam proses pelayanannya akan lebih dimudahkan, diistimewakan, dan penghormatannya akan berbeda dengan masyarakat biasa dalam proses pelayanan publik.  Demikian gambaran birokrasi kekuasaan. Dalam pada itu mendukung pandanga tersebut, Karl Marx mengemukakan birokrasi sebaiknya memposisikan dirinya sebagai kelompok sosial tertentu yang dapat menjadi instrumen  dari kelompok yang dominan/penguasa. Pandangan ini memberikan gambaran  bahwa birokrasi kekuasaan lebih berorientasi pada penguasa dan mengabaikan masyarakat.

Birokrasi kekuasaan dalam proses untuk memutuskan sebuah kebijakan pemerintah tidak perlu diketahui dan atau dilibatkan masyarakat karena penguasa menganggap masyarakat kurang mengetahui informasi yang diputuskan itu. Misalnya keputusan tentang kenaikan harga BBM, telephone dan listrik, bahkan kebijakan yang masih kontroversial antara lain: kebijakan atas pelaksanaan ujian nasional,  Pilkadal    Hal ini tidak demokratis sebab menghilangkan hak-hak masyarakat dalam menyampaikan pendapat untuk memutuskan kebijakan tersebut.  Semakin tinggi birokrasi kekuasaan yang dipegang oleh penguasa maka semakin tinggi pula bisnis dan proyek  untuk kepentingannya. Posisi ini tidak lagi berpikir masyarakat sebagai subjek dan aktor kebijakan tetapi lebih pada  objek yang dilayani yang mengedepankan kepentingan penguasa, yang pada akhirnya menghalalkan segala cara untuk mendapatkan kekuasaan dengan bebagai modus operandinya.

Menuju Birokrasi Pelayanan

Menginginkan sebuah birokrasi yang ideal adalah impian  semua warga bangsa, karena hal ini akan lebih memperlihatkan kesungguhan aparat birokrat dalam melayani masyarakat.menuju sebuah birokrasi yang akuntabel, responsive, dan professional.  Sasaran tersebut harus dicapai aparat birokrat sebab, menurut Thoha (2002) seorang ahli birokrasi Indonesia mengatakan pejabat birokrat pemerintah adalah sentra dari penyelesaian urusan masyarakat. Tetapi rakyat tergantung pada pejabat ini,  bukannya pejabat yang tergantung pada rakyat, dalam hal ini pelayanan kepada rakyat bukan diletakkan pada pertimbangan utama (priorities), melainkan pada  pertimbangan yang kesekian. Penyelenggaraan birokrasi pelayanan oleh penguasa menjadi agen tunggal yang mendominasi pelaksanaan pelayanan publik.

Sebuah pelayanan yang professional dan akuntabel harus memiliki banyak komponen yang mampu menciptakan kreatifitas dan inovatif dalam melayani masyarakat.  Di sisi lain Penyelenggaraan pelayanan publik oleh aparat birokrat harus merubah orientasi.  Dari orientasi bisnis menuju orientasi kepentingan masyarakat. Untuk merubag hal ini tergantung pada aparat birokrat karena mereka yang memegang kekuasaan dalam proses membangun negara ini. Kemaun (political will) dari aparat birokrat menjadi instrumen utama dalam membongkar mitos pelayanan publik selama ini yang cenderung menghamba pada pejabat. Sudah saatnya birokrasi pelayanan publik harus transparan, tidak berbelit-belit, komunikatif . Dalam artian bahwa kita mengembalikan tugas dan fungsi sebagai pelayan masyarakat dan abdi negara.  Sehingga ketimpangan dan stagnasi berupa kolusi, nepotisme dan bahkan korupsi dalam birokrasi pelayanan publik, dapat ditegakkan dengan selalu mempertimbangkan unsur keadilan sebagai upaya menuju sebuah birokrasi pelayanan publik yang sesungguhnya. Semoga berhasil.