Oleh Saiful Deni
SECARA diakronis wajah
birokrasi pemerinatah di Indonesia, yang dimulai dari masa kekuasaan
Orde Baru sampai Era Reformasi. memiliki
kualitas birokrasi dan kondisi yang tidak berubah artinya lembaga birokrasi
masih dijadikan sebagai sasaran empuk para elit politik maupun birokrat dalam
melanggengkan kekuasaannya. Kekuasaan tersebut adalah dalam hal proses
penyelenggaraan pelayanan publik menjadi sesuatu yang menakutkan bagi warga
bangsa ketika masuk berurusan dengan birokrasi.
Hal ini ditandai dengan pelbagai prosedure dan syarat yang menyulitkan,
tidak ada tranparansi, tidak memudahkan bagi masyarakat dari apa yang dibutuhkannya, misalnya
mengurusi KTP, Akte Kelahiran, dan surat-surat perijinan lainnya menjadi
sesuatu yang sacral-sentralistik.
Padahal eksistensi birokrasi untuk melayani kebutuhan
masyarakat/pengguna jasa bahkan adanya birokrasi merupakan kehendak masyarakat
dan negara dalam rangka mencapi tujuan-tujuan yang dinginkan bersama, sehingga
yang menentukan ada tidaknya birokrasi tergantung pada kebutuhkan yang harus
dilayani oleh birokrasi terhadap masyarakat.
Karena sebuah negara dikatakan sehat dalam proses penyelenggaraannya apabila
kondisi birokrasi dapat berfungsi sebagai jantung negara (Setiono, 2002). Artinya birokrasi diharapkan menjembatani
kepentingan dan konflik masyarakat dan negara serta mitra dalam membangun
negara kearah yang lebih baik tanpa benturan dan menghindari dari akibat-akibat
yang ditimbulkan oleh kedua unsur tersebut.
Lalu muncul permasalahan apa yang harus dilakukan birokrasi kekuasaan
untuk menuju sebuah birokrasi yang selalu memihak kepada rakyat ? Pertanyaan ini perlu direspon oleh aparat
birokrat dengan selalu meningkatkan kualitas pelayanan dan professionalisme
kerja di setiap lembaga pelayanan publik.
Birokrasi Kekuasaan
Dalam paradigma kekuasaan raja, masyarakat sebagai objek atau sasaran yang
dituju dengan tidak banyak memberikan pertimbangan dan alasan dalam menghadapi
birokrasi kekuasaan raja apapun yang dilakukan oleh seorang raja tidak bisa
dibantah oleh seorang abdi Atau dengan kata lain bahwa birokrasi kekuasaan
dalam proses pelayanannya akan lebih dimudahkan, diistimewakan, dan
penghormatannya akan berbeda dengan masyarakat biasa dalam proses pelayanan
publik. Demikian gambaran birokrasi
kekuasaan. Dalam pada itu mendukung pandanga tersebut, Karl Marx mengemukakan
birokrasi sebaiknya memposisikan dirinya sebagai kelompok sosial tertentu yang
dapat menjadi instrumen dari kelompok
yang dominan/penguasa. Pandangan ini memberikan gambaran bahwa birokrasi kekuasaan lebih berorientasi
pada penguasa dan mengabaikan masyarakat.
Birokrasi kekuasaan dalam proses untuk memutuskan sebuah
kebijakan pemerintah tidak perlu diketahui dan atau dilibatkan masyarakat
karena penguasa menganggap masyarakat kurang mengetahui informasi yang
diputuskan itu. Misalnya keputusan tentang kenaikan harga BBM, telephone dan listrik,
bahkan kebijakan yang masih kontroversial antara lain: kebijakan atas
pelaksanaan ujian nasional,
Pilkadal Hal ini tidak
demokratis sebab menghilangkan hak-hak masyarakat dalam menyampaikan pendapat
untuk memutuskan kebijakan tersebut.
Semakin tinggi birokrasi kekuasaan yang dipegang oleh penguasa maka
semakin tinggi pula bisnis dan proyek
untuk kepentingannya. Posisi ini tidak lagi berpikir masyarakat sebagai
subjek dan aktor kebijakan tetapi lebih pada
objek yang dilayani yang mengedepankan kepentingan penguasa, yang pada
akhirnya menghalalkan segala cara untuk mendapatkan kekuasaan dengan bebagai
modus operandinya.
Menuju Birokrasi Pelayanan
Menginginkan sebuah birokrasi yang ideal adalah impian semua warga bangsa, karena hal ini akan lebih
memperlihatkan kesungguhan aparat birokrat dalam melayani masyarakat.menuju
sebuah birokrasi yang akuntabel, responsive, dan professional. Sasaran tersebut harus dicapai aparat
birokrat sebab, menurut Thoha (2002) seorang ahli birokrasi Indonesia mengatakan
pejabat birokrat pemerintah adalah sentra dari penyelesaian urusan masyarakat.
Tetapi rakyat tergantung pada pejabat ini,
bukannya pejabat yang tergantung pada rakyat, dalam hal ini pelayanan
kepada rakyat bukan diletakkan pada pertimbangan utama (priorities), melainkan
pada pertimbangan yang kesekian.
Penyelenggaraan birokrasi pelayanan oleh penguasa menjadi agen tunggal yang
mendominasi pelaksanaan pelayanan publik.
Sebuah pelayanan yang professional dan akuntabel harus
memiliki banyak komponen yang mampu menciptakan kreatifitas dan inovatif dalam
melayani masyarakat. Di sisi lain
Penyelenggaraan pelayanan publik oleh aparat birokrat harus merubah
orientasi. Dari orientasi bisnis menuju
orientasi kepentingan masyarakat. Untuk merubag hal ini tergantung pada aparat
birokrat karena mereka yang memegang kekuasaan dalam proses membangun negara
ini. Kemaun (political will) dari aparat birokrat menjadi instrumen utama dalam
membongkar mitos pelayanan publik selama ini yang cenderung menghamba pada pejabat.
Sudah saatnya birokrasi pelayanan publik harus transparan, tidak
berbelit-belit, komunikatif . Dalam artian bahwa kita mengembalikan tugas dan
fungsi sebagai pelayan masyarakat dan abdi negara. Sehingga ketimpangan dan stagnasi berupa
kolusi, nepotisme dan bahkan korupsi dalam birokrasi pelayanan publik, dapat
ditegakkan dengan selalu mempertimbangkan unsur keadilan sebagai upaya menuju
sebuah birokrasi pelayanan publik yang sesungguhnya. Semoga berhasil.
1 komentar:
plmantap artikelnya.
www.kiostiket.com
Posting Komentar