Halaman

Sabtu, 23 Juni 2012

Kebijakan Resolusi Konflik Agraria di Maluku Utara: Antara Harapan dan Kenyataan



Oleh Saiful Deni

Tanah sebagai sarana untuk pemenuhan kebutuhan dasar manusia akan papan dan pangan, serta merupakan sumber daya alam yang langka itu rentan diperebutkan oleh berbagai pihak. Konflik yang bersumber pada perbedaan kepentingan, nilai, data dan sebagainya (Maria Sumardjono).

Sumber Krisis ekonomi yang paling utama di dunia adalah adanya praktik monopoli tanah dan spekulasi tanah(Fred Harrisond).

Tanah tidak untuk mereka yang dengan duduk ongkang-ongkang menjadi gemuk karena menghisap keringatnya orang-orang yang disuruh menggarap tanah
 (Soekarno).


Latar Belakang

Kebijakan pemerintah di bidang pertanahan merupakan hal yang urgen bagi warga negara. Karena setiap warga memiliki hak yang sama dalam mendapatkanya. Hak yang kami maksudkan adalah hak untuk hidup dalam bentuk ekonomi, sosial, dan budaya atau berhak mendapatkan tempat tinggal yang layak di atas tanahnya sendiri atau pun tanah negara. Dalam bahasa Undang-undang Dasar 1945 , memberikan jaminan bagi setiap warga negara atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Hak-hak yang didapatkan warga negara tersebut boleh dengan cara-cara yang damai dan demokratis, jika aktor-aktor seperti negara, masyarakart dan pemodal besar tidak mengklaim bahwa tanah yang dihuni oleh masyarakat adalah semata-mata milik negara? Hal ini harus dikaji secara teoritis dan normatif tentang sejarah perkembangan awal pembentukannya dan konflik yang terjadi dari masa ke masa.

Konflik pertanahan akan terjadi dimanapun di Indonesia, tatakala pihak-pihak yang memiliki kepentingan kapital mempertahankan haknya yang paling benar dan mengesampingkan aktor-aktor yang lain. Apalagi aktor masyarakat yang tidak berdaya dari sisi ekonomi, hukum, dan bahkan politik. Negara seakan-akan menyerang bukan melindungi warga, karena yang kita lihat adalah potret represif negara terhadap masyarakat dalam kasus-kasus pertanahan di Indonesia melalui kekerasan, penggusuran, ketidakadilan, dan cara-cara lain untuk menghilangkan hak-hak masyarakat. Boleh jadi kasus pertanahan tersebut juga terjadi di Provinsi Maluku Utara yang tersebar di beberapa Kabupaten Kota (Kota Ternate, Pulau Tidore, (Sofifi), dan Halmahera Utara (Galela). Banyak varian dan pandangan para ahli tentang tindakan negara secara represif diungkapkan oleh beberapa misalnya, Lenin bahwa ” Negara adalah hasil dari perwujudan pertentangan kelas. Negara itu muncul ketika adanya pertentangan kelas dan itu pun tidak bisa didamaikan
Dalam arti bahwa ketika negara mengelola konflik dapat dilakukan secara paksa dalam bentuk penggusuran dan penyelesaian konflik tanah selalu dengan kekerasan karena negara menggunakan alat-alat yang ditakuti masyarakat, sehingga selama sifat negara ditonjolkan dengan kekerasan maka tidak ada kesan lain kecuali kekerasan. Pertanyaan yang muncul adalah bagaimana cara memediasi permasalahan pertanahan dari berbagai konflik kepentingan di Maluku Utara? Siapa yang dirugikan dan diuntungkan? Apakah pihak swasta atau negara? Dan bagaimana dengan masyarakat sebagai salah satu aktor yang memiliki kepentingan dan hak yang sama?

Kenyataan Reformasi Kebijakan Pertanahan
(Beberapa Isu Konflik Pertanahan)

Isu dan masalah yang sedang menjadi perhatian pemerintah, LSM, dan para kapital lokal adalah terkait dengan permasalahan pertanahan di beberapa Kabupaten Kota di Maluku Utara, seperti Kota Ternate, Pulau Tidore (Sofifi) dan Halmahera Utara (Galela). Persoalan yang muncul adalah terkait dengan kepemilikan tanah. Perebutan akan tanah di Halmahera Utara Galela dengan perusahaan GAI. Masyarakat menganggap bahwa tanah itu miliki masyarakat bukan perusahaan luar negeri.Tidak beroperasinya perusahaan GAI tersebut ketika terjadi konflik horizontal di Maluku Utara, karena terkendala masalah keamanan dan proses produksi. Permasalahan lainnya adalah pertanahan di Kota Ternate Pasca kerusuhan yang sampai saat ini belum memberikan jaminan yang pasti siapa pemilik tanah tempat tinggal bagi masyarakat yang tidak lagi kemabli ke Ternate. Bahkan meragukan kepastian dan kejelasan mengenai pemilik tanah yang sah, karena telah diperjual-belikan kepada masyarakat dengan sertifat ganda.

Kebijakan resolusi konflik dari permasalahan tanah tersebut tidak lagi dilakukan melalui pengadilan atau menyelesaikan konflik ini sedapat mungkin menghindari dari pengadilan karena akan terjadi kompromi dan koalisi dalam bentuk kalkulasi dan maksimalisasi kepentingan antar aktor di luar ketentuan Undang-undang yang berlaku . Secara normatif kebijakan dalam mengelola konflik di bidang pertanahan telah diatur dalam Undanga-undang yang telah mengalami pergeseran kebijakan pertanahan (1) berlakunya Undang-undang agraria tahun 1960-1970-an tentang orientasi kebijakan pertanahan di Indonesia bersifat populis, dengan maksud memberikan perlindungan dan kepastian hukum serta keadilan bagi masyarakat, (2) tahun 1980-1990-an ditengarai dengan strategi pembangunan mengarah pada industrialisasi dan sektor penunjang. Maka perlu penataan ruang karena semakin terbukanya konflik dalam pengelolaan sumber daya alam. (3) periode reformasi yang dimulai tahun 1998-an, berbagai kebijakan untuk mengoreksi ketimpangan di masa lalu, namun belum dapat sepenuhnya menghilangkan bias kepentingan pengusaha, misalnya PP No 36/1998 tentang penertiban dan pendayagunaan Tanah Terlantar.

Kebijakan untuk mengelola konflik pertanahan melalui Undang-undang belum berhenti sampai di situ, namun model penyelesaian konflik juga dilakukan melalui diterbitkannya Undang-undang No 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Penyelesaian Sengketa Alternatif. Dalam pandangan Sumardjono bahwa kebijakan penyelesaian konflik tanah dilakukan dengan dua cara . Pertama, dilakukan diluar pengadilan karena kepercayaan masyarakat terhadap lembaga peradilan sedemikan merosot, maka cara-cara perundingan, mediasi,arbitrase, dan sebagainya merupakan jalan keluar yang bermanfaat. Kedua, sengketa dapat diselesaikan dengan ”win-win solution” yang terkadang memerlukan uluran tangan pihak ketiga yang netral untuk membantu mengeksplorasi berbagai alternatif pemecahan sengketa.

Kedua cara ini sebagai dasar utama dalam menyelesaikan konflik pertanahan, namun hal ini tergantung pada aktor-aktor negara atau pemerintah dalam implementasi kebijakan dan reformasi Undang-undang yang telah ditetapkan ini. Reformasi kebijakan pertanahan dapat di lakukan secara terus menerus, sehingga reformasi kebijakan di bidang pertanahan perlu diarahkan untuk menghindari konflik kepentingan kaum pemodal besar atau sebagai kaum kapitalis lokal. Orientasi reformasi kebijakan pertanahan dapat diletakkan pada prinsip-prinsip dasar; (1) negara menguasai, (2) penghormatan terhadap hak atas tanah masyarakat hukum adat,(3)asas fungsi sosial hak atas tanah, (4) prinsip landreform, (5) asas perencanaan dalam penggunaan tanah dan upaya pelestariannya, dan (6) dengan prinsip nasionalitas .

Harapan Implementasi Kebijakan Pertanahan:
Model Mengelola Konflik yang Ideal


Prinsip-prinsip orientasi kebijakan yang disebutkan di atas memiliki cita-cita yang luar biasa jika dipraktekkan oleh negara dan masyarakat dengan sungguh-sungguh. Dalam implementasi kebijakan pertanahan aktor negara bisa saja membelokkan tujuannya bukan untuk kemaslahatan rakyat. Tanah tidak lagi berfungsi sebagai arena sosial dan adat, tetap lebih pada fungsi-fungsi ekonomi. Praktek monopoli pertanahan bagi kaum berduit tak dapat dihindari lagi, karena mereka mencari rent-seeking atau keuntungan dari proses kepemilikan tanah. Keberhasilan dan kegagalan dari implementasi kebijakan pertanahan terletak pada;

Pertama,bahwa reformasi kebijakan pertanahan harus betul-betul diorientasikan dan dikomunikasikan pada kelompok sasaran yang tepat( kepada kepemilikan tanah, negara, dan pemodal besar). Konflik pertanahan sering tidak tepat sasaran dalam penyelesaian sengketa karena para benefesieris lebih banyak melakukan kalkulasi dan maksimalisasi keuntungan dari kepemilikan tanah.

Kedua penyehatan terhadap struktur birokrasi yang sedang diselenggarakan oleh pemerintah, karena struktur birokrasi sangat menentukan kegagalan atau keberhasilan dari sebuah implementasi kebijakan pertanahan. Struktur Birokrasi sebagai mesin penggerak dalam mnyelenggarakan lembaga birokrasi pemerintahan. Patologi birokrasi dalam bentuk mal-administrasi atau penyimpangan terhadap tugas-tugas yang dijalankan birokrasi pemerintahan, hal ini dapat disebut sebagai perbuatan korupsi.

Ketiga, perlu adanya pengembangan sumber daya manusi birokrasi di bidang pertanahan. Sumber daya birokrasi memiliki peran strategis dan dapat mengendalikan berbagai metode dalam mengelola konflik secara sistematik. Sumber daya manusia birokrasi juga menghendaki agar adanya perpaduan antara teori dan praktek bagi penyelesaian sengketa.

Keempat, para aktor yang bersengketa seharusnya menyadari bahwa era sekarang adalah era untuk membangun suatu kepercayaan, kejujuran, dan menerapkan nilai-nilai demokrasi dalam tataran mengelola konflik. Kemampuan dan dimensi seorang implementor menyelesaikan sengketa ditentukan oleh kemampuan untuk berkata jujur dan kemampuan untuk dipercaya oleh kelompok-kelompok yang bersengketa. Ketika negara sebagai salah satu aktor implementor perlu membangun suatu kepercayaan sehingga menjadi teladan bagi semua pihak yang berkepentingan .

Dengan demikian, kertas kerja ini kami sampaikan semoga seminar dan workshop pada kesempatan ini bermanfaat untuk menyelesaikan beberapa isu konflik yang terjadi di Maluku Utara, khususnya Kota Tidore(Sofifi), Kota Ternate pasca kerusuhan dan Halmahera Utara (Galela-PT GAI).

  
Sumber Bacaan


Edward, George III, 1980. Implementing Public Policy, Washington; Congressional Quartley, Inc

Lenin dalam Gramacia, Antonio, 1999. Negara dan Hegemoni, Pustaka Pelajar. Jogjakrta.

Sumardjono S.W Maria, dkk, 2008. Mediasi Sengketa Tanah: Potensi Penerapan Alternatif Penyelesaian Sengketa di bidang Pertanahan, Kompas, Jakarta.

Sumardjono,SW Maria, 2009. Kebijakan Pertanahan: Antara Regulasi dan Implementasi, Kompas. Jakarta

Tidak ada komentar: