Oleh Saiful Deni
Tanah sebagai sarana untuk
pemenuhan kebutuhan dasar manusia akan papan dan pangan, serta merupakan sumber
daya alam yang langka itu rentan diperebutkan oleh berbagai pihak. Konflik yang
bersumber pada perbedaan kepentingan, nilai, data dan sebagainya (Maria
Sumardjono).
Sumber Krisis ekonomi yang paling
utama di dunia adalah adanya praktik monopoli tanah dan spekulasi tanah(Fred
Harrisond).
Tanah tidak untuk mereka yang
dengan duduk ongkang-ongkang menjadi gemuk karena menghisap keringatnya
orang-orang yang disuruh menggarap tanah
(Soekarno).
Latar Belakang
Kebijakan pemerintah di bidang
pertanahan merupakan hal yang urgen bagi warga negara. Karena setiap warga
memiliki hak yang sama dalam mendapatkanya. Hak yang kami maksudkan adalah hak
untuk hidup dalam bentuk ekonomi, sosial, dan budaya atau berhak mendapatkan
tempat tinggal yang layak di atas tanahnya sendiri atau pun tanah negara. Dalam
bahasa Undang-undang Dasar 1945 , memberikan jaminan bagi setiap warga negara
atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Hak-hak yang
didapatkan warga negara tersebut boleh dengan cara-cara yang damai dan
demokratis, jika aktor-aktor seperti negara, masyarakart dan pemodal besar
tidak mengklaim bahwa tanah yang dihuni oleh masyarakat adalah semata-mata
milik negara? Hal ini harus dikaji secara teoritis dan normatif tentang sejarah
perkembangan awal pembentukannya dan konflik yang terjadi dari masa ke masa.
Konflik pertanahan akan terjadi
dimanapun di Indonesia, tatakala pihak-pihak yang memiliki kepentingan kapital
mempertahankan haknya yang paling benar dan mengesampingkan aktor-aktor yang
lain. Apalagi aktor masyarakat yang tidak berdaya dari sisi ekonomi, hukum, dan
bahkan politik. Negara seakan-akan menyerang bukan melindungi warga, karena yang
kita lihat adalah potret represif negara terhadap masyarakat dalam kasus-kasus
pertanahan di Indonesia melalui kekerasan, penggusuran, ketidakadilan, dan
cara-cara lain untuk menghilangkan hak-hak masyarakat. Boleh jadi kasus
pertanahan tersebut juga terjadi di Provinsi Maluku Utara yang tersebar di
beberapa Kabupaten Kota (Kota Ternate, Pulau Tidore, (Sofifi), dan Halmahera
Utara (Galela). Banyak varian dan pandangan para ahli tentang tindakan negara
secara represif diungkapkan oleh beberapa misalnya, Lenin bahwa ” Negara adalah
hasil dari perwujudan pertentangan kelas. Negara itu muncul ketika adanya
pertentangan kelas dan itu pun tidak bisa didamaikan
Dalam arti bahwa ketika negara
mengelola konflik dapat dilakukan secara paksa dalam bentuk penggusuran dan
penyelesaian konflik tanah selalu dengan kekerasan karena negara menggunakan
alat-alat yang ditakuti masyarakat, sehingga selama sifat negara ditonjolkan
dengan kekerasan maka tidak ada kesan lain kecuali kekerasan. Pertanyaan yang
muncul adalah bagaimana cara memediasi permasalahan pertanahan dari berbagai
konflik kepentingan di Maluku Utara? Siapa yang dirugikan dan diuntungkan?
Apakah pihak swasta atau negara? Dan bagaimana dengan masyarakat sebagai salah
satu aktor yang memiliki kepentingan dan hak yang sama?
Kenyataan Reformasi Kebijakan
Pertanahan
(Beberapa Isu Konflik Pertanahan)
Isu dan masalah yang sedang
menjadi perhatian pemerintah, LSM, dan para kapital lokal adalah terkait dengan
permasalahan pertanahan di beberapa Kabupaten Kota di Maluku Utara, seperti
Kota Ternate, Pulau Tidore (Sofifi) dan Halmahera Utara (Galela). Persoalan
yang muncul adalah terkait dengan kepemilikan tanah. Perebutan akan tanah di
Halmahera Utara Galela dengan perusahaan GAI. Masyarakat menganggap bahwa tanah
itu miliki masyarakat bukan perusahaan luar negeri.Tidak beroperasinya
perusahaan GAI tersebut ketika terjadi konflik horizontal di Maluku Utara,
karena terkendala masalah keamanan dan proses produksi. Permasalahan lainnya
adalah pertanahan di Kota Ternate Pasca kerusuhan yang sampai saat ini belum
memberikan jaminan yang pasti siapa pemilik tanah tempat tinggal bagi
masyarakat yang tidak lagi kemabli ke Ternate. Bahkan meragukan kepastian dan
kejelasan mengenai pemilik tanah yang sah, karena telah diperjual-belikan
kepada masyarakat dengan sertifat ganda.
Kebijakan resolusi konflik dari
permasalahan tanah tersebut tidak lagi dilakukan melalui pengadilan atau
menyelesaikan konflik ini sedapat mungkin menghindari dari pengadilan karena
akan terjadi kompromi dan koalisi dalam bentuk kalkulasi dan maksimalisasi
kepentingan antar aktor di luar ketentuan Undang-undang yang berlaku . Secara
normatif kebijakan dalam mengelola konflik di bidang pertanahan telah diatur
dalam Undanga-undang yang telah mengalami pergeseran kebijakan pertanahan (1)
berlakunya Undang-undang agraria tahun 1960-1970-an tentang orientasi kebijakan
pertanahan di Indonesia bersifat populis, dengan maksud memberikan perlindungan
dan kepastian hukum serta keadilan bagi masyarakat, (2) tahun 1980-1990-an
ditengarai dengan strategi pembangunan mengarah pada industrialisasi dan sektor
penunjang. Maka perlu penataan ruang karena semakin terbukanya konflik dalam
pengelolaan sumber daya alam. (3) periode reformasi yang dimulai tahun 1998-an,
berbagai kebijakan untuk mengoreksi ketimpangan di masa lalu, namun belum dapat
sepenuhnya menghilangkan bias kepentingan pengusaha, misalnya PP No 36/1998
tentang penertiban dan pendayagunaan Tanah Terlantar.
Kebijakan untuk mengelola konflik
pertanahan melalui Undang-undang belum berhenti sampai di situ, namun model
penyelesaian konflik juga dilakukan melalui diterbitkannya Undang-undang No 30
Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Penyelesaian Sengketa Alternatif. Dalam
pandangan Sumardjono bahwa kebijakan penyelesaian konflik tanah dilakukan
dengan dua cara . Pertama, dilakukan diluar pengadilan karena kepercayaan
masyarakat terhadap lembaga peradilan sedemikan merosot, maka cara-cara
perundingan, mediasi,arbitrase, dan sebagainya merupakan jalan keluar yang
bermanfaat. Kedua, sengketa dapat diselesaikan dengan ”win-win solution” yang
terkadang memerlukan uluran tangan pihak ketiga yang netral untuk membantu
mengeksplorasi berbagai alternatif pemecahan sengketa.
Kedua cara ini sebagai dasar
utama dalam menyelesaikan konflik pertanahan, namun hal ini tergantung pada
aktor-aktor negara atau pemerintah dalam implementasi kebijakan dan reformasi
Undang-undang yang telah ditetapkan ini. Reformasi kebijakan pertanahan dapat
di lakukan secara terus menerus, sehingga reformasi kebijakan di bidang
pertanahan perlu diarahkan untuk menghindari konflik kepentingan kaum pemodal
besar atau sebagai kaum kapitalis lokal. Orientasi reformasi kebijakan
pertanahan dapat diletakkan pada prinsip-prinsip dasar; (1) negara menguasai,
(2) penghormatan terhadap hak atas tanah masyarakat hukum adat,(3)asas fungsi
sosial hak atas tanah, (4) prinsip landreform, (5) asas perencanaan dalam
penggunaan tanah dan upaya pelestariannya, dan (6) dengan prinsip nasionalitas
.
Harapan Implementasi Kebijakan
Pertanahan:
Model Mengelola Konflik yang
Ideal
Prinsip-prinsip orientasi
kebijakan yang disebutkan di atas memiliki cita-cita yang luar biasa jika
dipraktekkan oleh negara dan masyarakat dengan sungguh-sungguh. Dalam
implementasi kebijakan pertanahan aktor negara bisa saja membelokkan tujuannya
bukan untuk kemaslahatan rakyat. Tanah tidak lagi berfungsi sebagai arena
sosial dan adat, tetap lebih pada fungsi-fungsi ekonomi. Praktek monopoli pertanahan
bagi kaum berduit tak dapat dihindari lagi, karena mereka mencari rent-seeking
atau keuntungan dari proses kepemilikan tanah. Keberhasilan dan kegagalan dari
implementasi kebijakan pertanahan terletak pada;
Pertama,bahwa reformasi kebijakan
pertanahan harus betul-betul diorientasikan dan dikomunikasikan pada kelompok
sasaran yang tepat( kepada kepemilikan tanah, negara, dan pemodal besar).
Konflik pertanahan sering tidak tepat sasaran dalam penyelesaian sengketa
karena para benefesieris lebih banyak melakukan kalkulasi dan maksimalisasi
keuntungan dari kepemilikan tanah.
Kedua penyehatan terhadap
struktur birokrasi yang sedang diselenggarakan oleh pemerintah, karena struktur
birokrasi sangat menentukan kegagalan atau keberhasilan dari sebuah implementasi
kebijakan pertanahan. Struktur Birokrasi sebagai mesin penggerak dalam
mnyelenggarakan lembaga birokrasi pemerintahan. Patologi birokrasi dalam bentuk
mal-administrasi atau penyimpangan terhadap tugas-tugas yang dijalankan
birokrasi pemerintahan, hal ini dapat disebut sebagai perbuatan korupsi.
Ketiga, perlu adanya pengembangan
sumber daya manusi birokrasi di bidang pertanahan. Sumber daya birokrasi
memiliki peran strategis dan dapat mengendalikan berbagai metode dalam
mengelola konflik secara sistematik. Sumber daya manusia birokrasi juga
menghendaki agar adanya perpaduan antara teori dan praktek bagi penyelesaian
sengketa.
Keempat, para aktor yang
bersengketa seharusnya menyadari bahwa era sekarang adalah era untuk membangun
suatu kepercayaan, kejujuran, dan menerapkan nilai-nilai demokrasi dalam
tataran mengelola konflik. Kemampuan dan dimensi seorang implementor
menyelesaikan sengketa ditentukan oleh kemampuan untuk berkata jujur dan
kemampuan untuk dipercaya oleh kelompok-kelompok yang bersengketa. Ketika
negara sebagai salah satu aktor implementor perlu membangun suatu kepercayaan
sehingga menjadi teladan bagi semua pihak yang berkepentingan .
Dengan demikian, kertas kerja ini
kami sampaikan semoga seminar dan workshop pada kesempatan ini bermanfaat untuk
menyelesaikan beberapa isu konflik yang terjadi di Maluku Utara, khususnya Kota
Tidore(Sofifi), Kota Ternate pasca kerusuhan dan Halmahera Utara (Galela-PT
GAI).
Sumber Bacaan
Edward, George III, 1980.
Implementing Public Policy, Washington; Congressional Quartley, Inc
Lenin dalam Gramacia, Antonio,
1999. Negara dan Hegemoni, Pustaka Pelajar. Jogjakrta.
Sumardjono S.W Maria, dkk, 2008.
Mediasi Sengketa Tanah: Potensi Penerapan Alternatif Penyelesaian Sengketa di
bidang Pertanahan, Kompas, Jakarta.
Sumardjono,SW Maria, 2009.
Kebijakan Pertanahan: Antara Regulasi dan Implementasi, Kompas. Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar