Halaman

Sabtu, 23 Juni 2012

Pelayanan Publik dalam paradigma baru “The New Public Service”



Oleh Saiful Deni
 

Public servants do not deliver customer service; they deliver democracy (Para birokrat tidak bekerja untuk melayani pelanggan, tetapi untuk mewujudkan nilai-nilai demokrasi 
(Denhardt and Denhardt,2007).


Pengantar

Eksistensi pemerintah secara ideal seharusnya mensejahterakan warga negara sebagai salah satu unsur negara. Kenapa? Karena sistem tata kelola pemerintahan yang dianut bangsa ini mengindikasikan sesuatu yang wajib dilakukan negara demi kepentingan warga negara (baca: UUD 1945). Dasar ideologi kita memberikan peluang yang besar dalam pelayanan dan kesejahteraan bagi kepentingan publik. Dalam arti bahwa landasan ideologi pelayanan publik tersebut memiliki harapan baru bagi penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia, sebab era reformasi tata pemerintahan saat ini, bagi warga negara dianggap masih banyak hal-hal yang bukan dikehendaki oleh nilai-nilai warga, tetapi lebih berorientasi pada kepentingan dan keuntungan birokrasi pemerintah.


Beberapa permasalahan tentang ketidakpuasan kinerja pemerintah, keinginan dan harapan-harapannya tidak didengar, hak-haknya dipasung, aspek dan peluang publiknya dihambat, adanya dominasi hak rakyat, berisi keras kepada rakyat, bertindak represif dan lupa bahwa kedaulatan ini adalah milik rakyat, bahkan pilihan untuk kebutuhan-kebutuhan publik dan suara demokrasi yang substantif telah ditinggalkan atau diabaikan begitu saja bagi pejabat. Padahal mereka para pejabat publik ada, karena adanya rakyat yang memiliki hak suara sebagai instrumen penting dalam memulai wacana pemerintah ke depan.

Secara praksis pemerintah dalam pelayanan publik harus memperhatikan ide brilian yang digagas oleh paradigma “the new public services” karena membawa pesan moral sebagaimana tuntutan masyarakat kontemporer dewasa ini. Paradigma the new public service (NPS) manakah yang diterapkan pemerintah dalam pelayanan publik? Apakah paradigma NPS cukup handal bagi pemerintahan di Indonesia dalam mengatasi persoalan-persoalan yang muncul dalam melayani warga negara? Atau sebaliknya keinginan warga negara dengan harapan yang begitu banyak berakhir di kekuasaan birokrasi yang birokratis mengandalkan hirarki, tidak efisien, tidak efektif, tidak transparan, bahkan berujung pada praktek-praktek patrimonial yang melindungi (memberikan hak-hak istimewa kepada seseorang) dan memihak pada afiliasi ras, suku, etnis, partai politik dan pemerintahan yang sedang berjalan

Menuju Paradigma The New Public Service(NPS)

Gagasan Denhardt & Denhardt tentang Pelayanan Publik Baru(PPB) menegaskan bahwa pemerintah seharusnya tidak dijalankan seperti layaknya sebuah perusahaan tetapi melayani masyarakat secara demokratis, adil, merata, tidak diskriminatif, jujur dan akuntabel . Karena bagi paradigma ini; (1) nilai-nilai demokrasi, kewarganegaraan dan kepentingan publik adalah merupakan landasan utama dalam proses penyelenggaraan pemerintahan; (2) nilai-nilai tersebut memberi energi kepada pegawai pemerintah atau pelayan publik dalam memberikan pelayanannya kepada publik secara lebih adil, merata, jujur, dan bertanggungjawab.

Oleh karenanya pegawai pemerintah atau aparat birokrat harus senantiasa melakukan rekonstruksi dan membangun jejaring yang erat dengan masyarakat atau warganya. Pemerintah perlu mengubah pendekatan kepada masyarakat dari suka memberi perintah dan mengajari masyarakat menjadi mau mendengarkan apa yang menjadi keinginan dan kebutuhan masyarakat, bahkan dari suka mengarahkan dan memaksa masyarakat menjadi mau merespon dan melayani apa yang menjadi kepentingan dan harapan masyarakat
Karena dalam paradigma the new public service dengan menggunakan teori demokrasi ini beranggapan bahwa tugas-tugas pemerintah untuk memberdayakan rakyat dan mempertanggungjawabkan kinerjanya kepada rakyat pula. Hal ini dimaksudkan bahwa para penyelenggara negara harus mendengar kebutuhan dan kemauan warga negara (citizens). Pelayanan publik yang di praktekkan dengan situasi yang kreatif, dimana warga negara dan pejabat publik dapat bekerja sama mempertimbangkan tentang penentuan dan implementasi dari birokrasi publik, yang berorientasi pada ”aktivitas administrasi dan aktivitas warga negara” .
Untuk meningkatkan suatu pelayanan publik yang demokratis,maka pilihan terhadap “the New Public Service(NPS)” dapat menjanjikan suatu perubahan realitas dan kondisi birokrasi pemerintahan. Aplikasi dari konsep ini agak menantang dan membutuhkan keberanian bagi aparatur pemerintahan dalam penyelenggaraan pelayanan publik, karena mengorbankan waktu, tenaga untuk mempengaruhi semua sistem yang berlaku. Alternatif yang ditawarkan adalah pemerintah harus mendengar suara publik dalam berpartisipasi bagi pengelolaan tata pemerintahan. Memang tidak gampang meninggalkan kebiasaan memerintah atau mengatur pada konsep administrasi lama, dari pada mengarahkan, menghargai pendapat sebagaimana yang disarankan konsep NPS.

Standar Pelayanan Publik yang Partisipatif, Transparan dan Akuntabel.

Keberhasilan dalam penerapan konsep standar dan kualitas pelayanan publik yang minimal memerlukan dimensi yang mampu mempertimbangkan realitas. Ada sepuluh dimensi untuk mengukur keberhasilan tersebut;(1) Tangable; yang menekankan pada penyediaan fasilitas, fisik, peralatan, personil, dan komunikasi. (2) Reability; adalah kemampuan unit pelayanan untuk menciptakan yang dijanjikan dengan tepat. (3) Responsiveness; kemauan untuk membantu para provider untuk bertanggungjawab terhadap mutu layanan yang diberikan. (4)Competence; tuntutan yang dimilikinya, pengetahuan dan keterampilan yang baik oleh aparatur dalam memberikan layanan. (5) Courtessy; sikap atau perilaku ramah, bersahabat, tanggap terhadap keinginan pelanggan serta mau melakukan kontak atau hubungan pribadi. (6) Credibility; sikap jujur dalam setiap upaya untuk menarik kepercayaan masyarakat. (7) Security; jasa pelayanan yang diberikan harus dijamin dan bebas dari bahaya dan resiko. (8) Acces; terdapat kemudahan untuk mengadakan kontak dan pendekatan. (9) Communication; kemaun pemberi layanan untuk mendengarkan suara, keinginan, atau aspirasi pelanggan, sekaligus kesediaan untuk selalu menyampaikan informasi baru kepada masyarakat. (10) Understanding the customer; melakukan segala usaha untuk mengetahui kebutuhan pelanggan . Sepuluh konsep ini mempertegas bagaimana model manajemen penyediaan standarisasi pelayanan publik dalam mengelola sektor-sektor publik yang lebih partisipatif, transparan, dan akuntabel.

Suksesnya sebuah penyelengaaraan pelayanan publik secara ideal menetapkan(1) Tujuan; para pejabat publik harus mengetahui apa yang menjadi gagasan pokok, tujuan tersebut harus mengakar secara mendalam dari tindakan sehari-hari dan perencanaan jangka panjang organisasi yang bersangkutan, para penyelenggara pelayanan publik sepanjang waktu harus mencontohi misi dan para ”street level bureaucracy” dikendalikan untuk melakukann hal tersebut. (2) Karakter; para penyelenggara pelayanan memiliki perasaan yang kuat tentang siapa mereka dan apa yang terpenting. Karakter organisasi diturunkan dari kesepakatan kepercayaan yang kuat, dikomunikasikan secara internal dan eksternal melalui aktivitas terpusat secara prinsip. Aparat birokrat sebagai pelayanan memancarkan integritas,kepercayaan, kepedulian, keterbukaan, dan secara krusial sebuah hasrat untuk belajar. (3) Keputusan; organisasi yang melakukan segala sesuatu, pencapaian atas tujuan dan mendemonstrasikan karakter melalui penggunaan aturan yang luas atas perangkat manajemen.

Organisasi yang memiliki inovasi di dalam sebuah era yang tidak pernah berhenti melakukan perubahan, mewujudkan bahwa perangkat dan teknik yang mereka kerjakan bermakna dalam memiliki batas akhir. Kerjasama kelompok merupakan elemen yang esensial . Mewujudkan standar pelayanan publik yang partisipatif, kesamaan hak, keterbukaan dan akuntabel sebagaimana dijelaskan dalam Undang-undang no 25 tahun 2009 memerlukan pernyataan kedua pihak baik lembaga pemeringtahan maupun warga negara. Artinya untuk dapat melaksanakan stándar pelayanan publik tersebut, para provider and user, harus membuat kesepakatan secara demokratis atau dengan sistem (citizen charter), yang berorientasi visi dan misi pelayanan, standar yang berlakukan (mulai dari jadwal, lamanya pelayanan, ruang pelayanan, alur pelayanan, hak dan kewajiban provider and user, sanksi –sanksi bagi provider and user, serta saran, kritik, dan metode keluhan yang disampaikan user kepada provider.


Catatan Akhir

Dengan demikian dari paradigma the new publicc service yang dipaparkan diatas, penulis berpendapat bahwa semua ini menekankan pada partisipasi warga negara dalam merumuskan program-program layanan publik yang berpihak pada kebutuhan warga negara, memiliki hak yang sama, memberi ruang bagi partisipasi publik dan transparansi para penyedia layanan dalam menghadapi warga negara, akuntabilitas sesuai dengan program, norma dan implementasi yang dijalankan lembaga birokrasi selama ini.
Paradigma pelayanan publik minimal yang harus diterapakan provider kepada user adalah akumulasi berbagai program yang berorientasi pada pilihan sekaligus suara publik sebagai cerminan dari perjuangan yang digalakkan pemerintah menuju paradigma pelayanan publik yang mau mendengar suara warga negara sebagai bahan pertimbangan dalam memutuskan setiap kebijakan pelayanan publik, termasuk didalamnya pelayanan KTP, Akte Kelahiran, IMB, dan sejenisnya. Semoga berhasil.


  
Sumber Bacaan

Cheryl Simrell King, and Carmilla Stivers. 1998. Government Is Us: Public Administration in an Anti-Government Era, Sage Publication, London New Delhi,

Denhardt Janet V. and Denhardt, Robert B. 2007. The New Public Service Sevice;Serving not Steering. Expanded edition, New York: M.E.

Deni, Saiful, 2008. Reform Administrasi Publik cet, 1 Setara Press dan SCDP Publishing, Malang.

Sutherland, Heather 1979. The Making of A Bureaucracy Elite, Singapore; ASAA Southeast Publication Series, Heineman Education Books.

Ole, Instrup,and Paul, Crocall,1998. The Three Pillars of the Public Management; Secret of Sustained success.

Zeithaml V.A A. Parasuraman, and L.L. Berry, 1990. Delivering Quality Service: Balancing Customer Perceptions and Expectations, New York: The Free Press.

Tidak ada komentar: