Oleh Saiful Deni
Pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat
Dan untuk rakyat( government of the
People, by the people, for the people.
( Abraham Lincoln, 1863).
Mengapa memlilih demokrasi karena
dalam sistem ini
rakyat bisa menentukan
nasibnya sendiri ( M. Hatta).
Praktek demokrasi pasca reformasi memiliki makna yang
berarti, karena telah melibatkan berbagai stakeholders dalam pengambilan
keputusan bagi kepintingan masyarakat banyak. Hal ini banyak dilakukan oleh
elemen mahasiswa dan aktor-aktor politik yang secara konsepsional mempunyai
strategi yang konstruktif untuk membangun demokrasi kita di Indonesia.
Masalahnya adalah mampukah kita, komitmenkah kita dalam menjalankan semua yang
diinginkan oleh demokrasi atau tidak.
Ataukah demokrasi yang kita praktekkan selama ini merupakan demokrasi
kuping yang sekedar mendengar tangisan rakyat dalam memintah pertolongan tanpa
memberikan jalan keluar yang berarti untuk memuluskan kehidupan sebagai warga
sipil di bumi ini.
Berbagai masalah yang dihadapi oleh masyarakat, seperti
penggusuran warga, ruislag, kebijakan kenaikkan BBM, TDL, persoalana
kemiskinan, pengangguran, dan yang
sejenisnya sangat merugikan masyarakat, karena kebijakan ini akan dialami oleh
mereka yang the have not, dan tidak menjadi masalah bagi mereka yang memiliki
akses yang cukup memadai dari sisi keuangan maupun akses informasi dalam bentuk apapun. Kesadaran akan memahami
demokrasi di Indonesia bervariasi yaitu antara masyarakat awam dan kaum elit
politik, birokrat, maupun kaum korporatis terjadi different yang signifikan,
sebab jika dilihat secara saksama persentasi untuk kearah pemahaman demokrasi
masih dibawah standar. Hal ini dibuktikan dengan hasil research Charney
Research dan AC Nelsen di seluruh Indonesia, kecuali Aceh dan Maluku tahun 1999
secara nyata menunjukkan bahwa 60% rakyat Indonesia yang bermukim di kota tidak
tahu ciri-ciri sebuah demokrasi dan 63% juga tidak tahu bagaimana demokrasi
dapat mempengaruhi hidup mereka. Dan yang lebih tragis lagi hanya 2% rakyat
Indonesia yang bisa menghubungkan antara pemilu dan demokrasi.(Masdar dan
Hermawan, 2001).
Sementara itu transisi demokrasi kita pada pasca reformasi,
mengalami musim semi demokratisasi yakni ditandai dengan runtuhnya masa Orba,
pemilu dengan multipartai, partisipasi
politik warga yang tinggi, desentralisasi dan otonomi daerah, pengamandemenan
UUD’45, desakralisasi lembaga kepresidenan, penyeretan mantan pejabat-pejabat
yang berkuasa yang diduga korup kedepan meja hijau, penguatan masyarakat
sipil, yang ditandai dengan gerakan
unjuk rasa baik di tingkat nasional maupun di daerah, penguatan solidaritas
horizontal pada aras etnis, suku dan agama dalam rangka menggalang kekuatan
untuk menekan pemerintah dan lain-lain, demikian Nugroho dalam (Markoff, 2002).
Pencermatan terhadap indikator demokratisasi ini merupakan buah dari keinginan
masyarakat untuk sensibilitas dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara. Bahkan semua masyarakat memiliki dan
menginginkan sebuah kehidupan yang aman, sejahtera, dan terpenuhi hak-hak
sipilnya sebagai manusia yang punya kebebasan dan hati nurani dalam menjalankan
kehidupan demokrasinya.
Posisi ke arah ini
memang harus didukung berbagai instrumen untuk memperkuat civil society dan
mengimplementasikan pada tataran real serta tepat pada sasaran masyarakat yang
perlu diperjuangkan hak-hak sipil mereka, karena memperjuangkan demokrasi
merupakan hal penting yang secara kritis
harus diperbincangkan dengan alasan. Pertama. Penolakan tehadap demokrasi jelas
akan menimbulkan banyak persoalan di dalam bangsa sendiri. Dalam artian bahwa
tidak adanya demokrasi pada suatu bangsa akan menyebabkan bangsa itu dijajah
oleh bangsa lain maupun oleh kekuatan
yang ada di dalam bangsa itu sendiri. Kedua. Menerima demokrasi tanpa reserve
juga merupakan sikap yang membahayakan,
karena demokrasi (khususnya demokrasi prosedural- esensinya harus dilaksanakan
secara periodik memlalui pemilu yang jurdil dimana para kandidat secara bebas
bersaing untuk mendapatkan suara untuk menilai suatu sistem politik demokrasi
atau tidak.) bisa membawah perubahan politik menuju ketidakadilan dan
eksploitasi, karena dibelakang demokrasi ada kekuatan kapitalisme, baik tingkat
lokal nasional, maupun internasional. Sehingga tidak salah kalau ,mengaudit
atau mengevaluasi kembali praktek demokrasi kita dalam sistem ketatanegaraan
sebuah keharusan yang tidak bisa
ditunda-tunda.
AUDIT MENUJU PEMERINTAHAN DEMOKRATIS.
Gagagsan tentang audit demokrasi memiliki makna yang besar
terhadap perihal kita akan berhadapan dengan berbagai persoalan kekuasaan
pemerintahan yang keberpihakannya pada hak-hak masyarakat yang minoritas atau
sistem pemerintahan dimana pemerintahan kekuasaan terletak pada mayoritas
rakyat, dan pelaksanaan dilakukan melalui wakil-wakil rakyat yang terpilih
(kumorotomo, 2001). Jadi, demokrasi sangat dekat dengan konsep kedaulatan
berada ditangan rakyat yang menekankan bahwa kedaulatan berada ditangan rakyat,
sehingga sinergitas kedua konsep ini adalah bagaimana membentuk pemerintahan
atas kehendak orang banyak dan untuk menjalankan sebuah sistem pemerintahan
yang berfungsi sebagai alat sekaligus
ideologi dalam mengaudit demokrasi ke depan.
Begitu juga dengan sistem ideologi sosialis atau komunis
juga mengatakan bahwa apa yang mereka lakukan adalah asas-asas yang berdasarkan
demokrasi. Begitu juga negara-negara yang selama ini dikenal sangat diktator,
mereka mengatakan telah menjalankan apa yang disebut demokrasi atau sangat
demokratis segala kebijakan yang mereka lakukan. Timbul pertanyaan sekarang apa
yang dimaksud dengan pemerintahan demokrasi? Pemerintahan demokrasi adalah
pemerintahan negara yang dilakukan oleh rakyat dan untuk rakyat (Budairi,
2002). Maka masalah tentang sistem pemerintahan demokrasi ini langsung mengenai
soal-soal rakyat sebagai penduduk dan warga dalam hak dan kewajibannya.
Sebagai ajaran universal, demokrasi paling tidak ditujukan
oleh lima prinsip utama. Pertama, adanya hak yang sama dan tidak diperbedakan
antara rakyat yang satu dengan rakyat yang lainnya. Hak tersebut diatur dalam
undang-undang dan peraturan yang dapat dipertanggung-jawabkan dan diterima
semua pihak (legitimasi). Kedua, partisipasi efektif yang menunjukkan adanya
proses dan kesempatan yang sama bagi rakyat untuk mengekspresikan prefensinya
dalam keputusan-keputusan yang diambil.
Oleh karena itu harus ada ruang yang memperkenankan publik
untuk mengespresikan kehendak mereka. Ketiga, adanya pencerahkan (enlightened
understanding) yang menunjukkan bahwa rakyat mengerti dan paham terhadap
keputusan-keputusan yang diambil negara tidak terkecuali birokrasi. Pengertian
tersebut mencakup efektifitas peran pemerintah dalam mensosialisasikan
keputusan-keputusannya, dan termasuk didalamnya memberikan kesempatan yang sama
kepada rakyat untuk mengkritisinya. Dalam artian bahwa rakyat pada umumnya
dapat menerima keputusan pemerintah sebagai keputusan yang paling adil.
Keempat, adanya kontrol adil yang diagendakan oleh rakyat (final control on the
agenda by the demos). Hal ini menunjukkan bahwa rakyat memiliki kesempatan
istimewa untuk membuat keputusan, membatasi materi dan memperluas yang akan
diputuskan dan dilakukan melalui proses-proses politik, yang dapat diterima dan
memuaskan berbagai pihak.
Kelima, inclusiviseness, yakni suatu pertanda yang
menunjukkan bahwa yang berdaulat adalah seluruh rakyat, yaitu semua anggota
masyarakat dewasa kecuali orang-orang yang terganggu mentalnya. Dari penjelasan
ajaran demokrasi yang universal di atas, menurut Robert A. Dahl yang dikutip
oleh Mohtar Mas’oed dalam bukunya Negara, kapital dan Demokrasi mengatakan
bahwa merumuskan tatanan politik poliarki (istilah yang digunakan untuk
menyebut demokrasi) dengan menggunakan dua dimensi, yaitu (1) seberapa tinggi
tingkat konstalasi, kompetisi atau oposisi yang dimungkinkan, dan (2) berapa
banyak warga negara memperoleh kesempatan berpartisipasi dalam kompetisi
politik. Maka, sistem demokrasi mencerminkan mekanisme politik yang dianggap
bisa menjamin adanya pemerintah yang tanggap terhadap preferensi dan keinginan
warga negaranya. Untuk itu rakyat harus diberi kesempatan untuk, (1) merumuskan
profesinya dan kepentingannya sendiri. (2) memberitahukan profesinya itu kepada
sesama warga negara, dan kepada pemerintah melalui tindakan individual maupun
kolektif, dan (3) mengusahakan agar kepentingan itu dipertimbangkan secara
setara dalam proses pembuatan keputusan pemerintah, artinya tidak
didiskriminasikan berdasarkan usul-usulnya
Pada tataran negara demokrasi mengacu ke sistem pemerintahan
oleh rakyat dimana kedaulatan berada
ditangan rakyat, bukan di tangan negara apalagi hanya ditangan rezim yang
sedang berkuasa. Sistem pemerintahan yang demokrasi seperti demokrasi seperti
dikemukakan Mohtar mas’oed tersebut di atas haruslah memenuhi tiga syarat
pokok, yaitu : (1) adanya kompetisi, (2) adanya partisipasi politik (rakyat),
(3) adanya kebebasan sipil berpolitik. Oleh karena itu, bentuk perjuangan
demokrasi pada tataran negara ini akan sangat dipengaruhi oleh paradigma yang
dipergunakan oleh seseorang atau kelompok sosial tertentu dalam memandang
negara. Disatu sisi, syarat tegaknya pemerintahan demokrasi dikemukakan oleh
Masdar adalah, (a) perlindungan konstitusional bahwa konstitusi selain menjamin
hak-hak individu juga harus menentukan cara prosedural untuk memperoleh
perlindungan atas hak-hak yang dijamin. (b) Pemilihan Umum yang bebas. Dalam sistem
demokrasi modern, pemilu merupakan syarat fundamental bagi terselenggaranya
demokrasi. (c) kebebasan untuk menyatakan pendapat, berserikat dan beroposisi.
(d) Badan kehakiman yang bebas dan tidak memihak (independent and impartial
tribunal). (e) pendidikan kewarganegaraan.
Dari uraian tersebut, maka mengaudit demokrasi itu lebih
mengarah pada tataran real yang selama ini dipraktekkan oleh lembaga-lembaga
Politik yang berpengaruh pada akses masyarakat. Mengaudit demokrasi artinya
memerlukan kejelasan dan evaluasi
kinerja untuk memperhitungkan sejauhmana pelaksanaan demokrasi selama ini. Apakah memiliki kekuatan atau tidak pada
grass root masyarakat kita. Ataukah
praktek demokrasi selama ini mengalami pembekuan, sehingga perlu terapi baru
untuk mencairkan. Pertanyaan yang muncul
adalah mengapa demokrasi bisa beku?, tidak heran jika kita meminjam terma (
George Sorensen, 2003), dengan sebutan
fronzen democracies maka menurutnya ada beberapa hal yang perlu di garis bawahi
yaitu pertama; proses demokratisasi mengalami pembusukan karena ketidakmampuan
pemerintah yang berkuasa melakukan perubahan-perubahan sosial, politik dan
ekonomi yang mendasar sesuai dengan tuntutan reformasi, utamanya menyangkut
dengan kepentingan dan perbaikan nasib masyarakat miskin. Artinya pemerintahan yang tidak kuat dan
tidak dilegitimasi dari masyarakatnya.
Jika dilihat sebuah pemerintahan yang kuat adalah mencerminkan ciri-ciri sebagai birokrasi yang effisien dan
tidak korup, memiliki elit politik yang berkemauan dan mampu memberikan
prioritas pada pembangunan ekonomi, memiliki kebijakan yang dirancang dengan
baik untuk mencapai tujuan pembangunan. Kedua bila pemerintahan gagal dalam
menciptakan tata tertib untuk mendorong terciptanya iklim kondusif bagi
kelangsungan proses demokratisasi.
Ketiga proses konsolidasi, yakni praktek-praktek demokrasi tidak
berkembang dan tidak menjadi bagian dari budaya politik. Konsolidasi amat memerlukan partisipasi
masyarakat pada tingkat lokal untuk membuat massa rakyat, sehingga lebih (1) mampu
menaksir kinerja wakil-wakil rakyat ditingkat nasional, (2) mampu mengambil
keputusan untuk lingkup nasional, (3)
mampu menimbang dampak keputusan yang diambil oleh wakil-wakil rakyat terhadap
kehidupan masyarakat, dan (4) mampu menciptakan
persatuan nasional.
Untuk mengaudit demokrasi kita ke depan sehingga
pemerintahan kita lebih stabil maka yang harus dilakukakan adalah: Para pemimpin tidak harus menggunakan koersi kekerasan,
dalam meraih dan mempertahankan kekuasaan. Adanya organisasi masyarakat pluralis yang modern dan
dinamis. Potensi konflik dalam pluralisme struktural dipertahankan
pada tingkat yang masih dapat ditoleransi. Aktif dalam politik, ada budaya politik dan sistem keyakinan
yang mendukung ide demokrasi. Membuka ruang publik yang mampu menampung aspirasi dan
memperjuangkan dalam kepentingan semua stakeholders. Kebijakan pemerintah yang berhubungan dengan atau yang
implementasinya dirasakan oleh masyarakat banyak harus memberikan ruang uuntuk
berpartisipasi lebih luas.
SUMBER BACAAN
Budairi, Muhammad.2002. Masyarakat Sipil dan Demokrasi.
E-Law, Indonesia Kreasi Wacana, Yogyakarta.
Kumorotomo, Wahyudi.1992. Etika Adminsitrasi Negara, Raja
Grafindo, Yogyakarta.
Masdar Umarudin, Hermawan Eman, 2001. Demokrasi Untuk
Pemula,KLIK dan Garda Bangsa. Yogyakarta.
Markoff, John. 2001. Gelombang Demokrasi Dunia; Gerakan
Sosial dan Perubahan Politik. Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
Mas’oed, Mohtar. 1999. Negara, Kapital dan Demokrasi,
Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
Sorensen, Georg. 2003. Demokrasi dan Demokratisasi; proses
dan prospek dalam sebuah dunia yang sedang berubah, pustaka pelajar.Yogyakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar