Halaman

Sabtu, 23 Juni 2012

MENGAUDIT DEMOKRASI SEBUAH KEHARUSAN


Oleh Saiful Deni
 
 Pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat
Dan untuk rakyat( government of the
People, by the people, for the people.
( Abraham Lincoln, 1863).     

Mengapa memlilih demokrasi karena
dalam  sistem ini rakyat bisa menentukan
nasibnya sendiri ( M. Hatta).

                                                                                  



Praktek demokrasi pasca reformasi memiliki makna yang berarti, karena telah melibatkan berbagai stakeholders dalam pengambilan keputusan bagi kepintingan masyarakat banyak. Hal ini banyak dilakukan oleh elemen mahasiswa dan aktor-aktor politik yang secara konsepsional mempunyai strategi yang konstruktif untuk membangun demokrasi kita di Indonesia. Masalahnya adalah mampukah kita, komitmenkah kita dalam menjalankan semua yang diinginkan oleh demokrasi atau tidak.  Ataukah demokrasi yang kita praktekkan selama ini merupakan demokrasi kuping yang sekedar mendengar tangisan rakyat dalam memintah pertolongan tanpa memberikan jalan keluar yang berarti untuk memuluskan kehidupan sebagai warga sipil di bumi ini.

Berbagai masalah yang dihadapi oleh masyarakat, seperti penggusuran warga, ruislag, kebijakan kenaikkan BBM, TDL, persoalana kemiskinan, pengangguran,  dan yang sejenisnya sangat merugikan masyarakat, karena kebijakan ini akan dialami oleh mereka yang the have not, dan tidak menjadi masalah bagi mereka yang memiliki akses yang cukup memadai dari sisi keuangan maupun akses informasi  dalam bentuk apapun. Kesadaran akan memahami demokrasi di Indonesia bervariasi yaitu antara masyarakat awam dan kaum elit politik, birokrat, maupun kaum korporatis terjadi different yang signifikan, sebab jika dilihat secara saksama persentasi untuk kearah pemahaman demokrasi masih dibawah standar. Hal ini dibuktikan dengan hasil research Charney Research dan AC Nelsen di seluruh Indonesia, kecuali Aceh dan Maluku tahun 1999 secara nyata menunjukkan bahwa 60% rakyat Indonesia yang bermukim di kota tidak tahu ciri-ciri sebuah demokrasi dan 63% juga tidak tahu bagaimana demokrasi dapat mempengaruhi hidup mereka. Dan yang lebih tragis lagi hanya 2% rakyat Indonesia yang bisa menghubungkan antara pemilu dan demokrasi.(Masdar dan Hermawan, 2001).

Sementara itu transisi demokrasi kita pada pasca reformasi, mengalami musim semi demokratisasi yakni ditandai dengan runtuhnya masa Orba, pemilu dengan multipartai,  partisipasi politik warga yang tinggi, desentralisasi dan otonomi daerah, pengamandemenan UUD’45, desakralisasi lembaga kepresidenan, penyeretan mantan pejabat-pejabat yang berkuasa yang diduga korup kedepan meja hijau, penguatan masyarakat sipil,  yang ditandai dengan gerakan unjuk rasa baik di tingkat nasional maupun di daerah, penguatan solidaritas horizontal pada aras etnis, suku dan agama dalam rangka menggalang kekuatan untuk menekan pemerintah dan lain-lain, demikian Nugroho dalam (Markoff, 2002). Pencermatan terhadap indikator demokratisasi ini merupakan buah dari keinginan masyarakat untuk sensibilitas dalam kehidupan  berbangsa dan bernegara. Bahkan semua masyarakat memiliki dan menginginkan sebuah kehidupan yang aman, sejahtera, dan terpenuhi hak-hak sipilnya sebagai manusia yang punya kebebasan dan hati nurani dalam menjalankan kehidupan demokrasinya.

Posisi ke arah  ini memang harus didukung berbagai instrumen untuk memperkuat civil society dan mengimplementasikan pada tataran real serta tepat pada sasaran masyarakat yang perlu diperjuangkan hak-hak sipil mereka, karena memperjuangkan demokrasi merupakan  hal penting yang secara kritis harus diperbincangkan dengan alasan. Pertama. Penolakan tehadap demokrasi jelas akan menimbulkan banyak persoalan di dalam bangsa sendiri. Dalam artian bahwa tidak adanya demokrasi pada suatu bangsa akan menyebabkan bangsa itu dijajah oleh  bangsa lain maupun oleh kekuatan yang ada di dalam bangsa itu sendiri. Kedua. Menerima demokrasi tanpa reserve juga merupakan  sikap yang membahayakan, karena demokrasi (khususnya demokrasi prosedural- esensinya harus dilaksanakan secara periodik memlalui pemilu yang jurdil dimana para kandidat secara bebas bersaing untuk mendapatkan suara untuk menilai suatu sistem politik demokrasi atau tidak.) bisa membawah perubahan politik menuju ketidakadilan dan eksploitasi, karena dibelakang demokrasi ada kekuatan kapitalisme, baik tingkat lokal nasional, maupun internasional. Sehingga tidak salah kalau ,mengaudit atau mengevaluasi kembali praktek demokrasi kita dalam sistem ketatanegaraan sebuah keharusan yang  tidak bisa ditunda-tunda.

AUDIT MENUJU PEMERINTAHAN DEMOKRATIS.
    
Gagagsan tentang audit demokrasi memiliki makna yang besar terhadap perihal kita akan berhadapan dengan berbagai persoalan kekuasaan pemerintahan yang keberpihakannya pada hak-hak masyarakat yang minoritas atau sistem pemerintahan dimana pemerintahan kekuasaan terletak pada mayoritas rakyat, dan pelaksanaan dilakukan melalui wakil-wakil rakyat yang terpilih (kumorotomo, 2001). Jadi, demokrasi sangat dekat dengan konsep kedaulatan berada ditangan rakyat yang menekankan bahwa kedaulatan berada ditangan rakyat, sehingga sinergitas kedua konsep ini adalah bagaimana membentuk pemerintahan atas kehendak orang banyak dan untuk menjalankan sebuah sistem pemerintahan yang berfungsi  sebagai alat sekaligus ideologi dalam mengaudit demokrasi ke depan.

Begitu juga dengan sistem ideologi sosialis atau komunis juga mengatakan bahwa apa yang mereka lakukan adalah asas-asas yang berdasarkan demokrasi. Begitu juga negara-negara yang selama ini dikenal sangat diktator, mereka mengatakan telah menjalankan apa yang disebut demokrasi atau sangat demokratis segala kebijakan yang mereka lakukan. Timbul pertanyaan sekarang apa yang dimaksud dengan pemerintahan demokrasi? Pemerintahan demokrasi adalah pemerintahan negara yang dilakukan oleh rakyat dan untuk rakyat (Budairi, 2002). Maka masalah tentang sistem pemerintahan demokrasi ini langsung mengenai soal-soal rakyat sebagai penduduk dan warga dalam hak dan kewajibannya.

Sebagai ajaran universal, demokrasi paling tidak ditujukan oleh lima prinsip utama. Pertama, adanya hak yang sama dan tidak diperbedakan antara rakyat yang satu dengan rakyat yang lainnya. Hak tersebut diatur dalam undang-undang dan peraturan yang dapat dipertanggung-jawabkan dan diterima semua pihak (legitimasi). Kedua, partisipasi efektif yang menunjukkan adanya proses dan kesempatan yang sama bagi rakyat untuk mengekspresikan prefensinya dalam keputusan-keputusan yang diambil.

Oleh karena itu harus ada ruang yang memperkenankan publik untuk mengespresikan kehendak mereka. Ketiga, adanya pencerahkan (enlightened understanding) yang menunjukkan bahwa rakyat mengerti dan paham terhadap keputusan-keputusan yang diambil negara tidak terkecuali birokrasi. Pengertian tersebut mencakup efektifitas peran pemerintah dalam mensosialisasikan keputusan-keputusannya, dan termasuk didalamnya memberikan kesempatan yang sama kepada rakyat untuk mengkritisinya. Dalam artian bahwa rakyat pada umumnya dapat menerima keputusan pemerintah sebagai keputusan yang paling adil. Keempat, adanya kontrol adil yang diagendakan oleh rakyat (final control on the agenda by the demos). Hal ini menunjukkan bahwa rakyat memiliki kesempatan istimewa untuk membuat keputusan, membatasi materi dan memperluas yang akan diputuskan dan dilakukan melalui proses-proses politik, yang dapat diterima dan memuaskan berbagai pihak.

Kelima, inclusiviseness, yakni suatu pertanda yang menunjukkan bahwa yang berdaulat adalah seluruh rakyat, yaitu semua anggota masyarakat dewasa kecuali orang-orang yang terganggu mentalnya. Dari penjelasan ajaran demokrasi yang universal di atas, menurut Robert A. Dahl yang dikutip oleh Mohtar Mas’oed dalam bukunya Negara, kapital dan Demokrasi mengatakan bahwa merumuskan tatanan politik poliarki (istilah yang digunakan untuk menyebut demokrasi) dengan menggunakan dua dimensi, yaitu (1) seberapa tinggi tingkat konstalasi, kompetisi atau oposisi yang dimungkinkan, dan (2) berapa banyak warga negara memperoleh kesempatan berpartisipasi dalam kompetisi politik. Maka, sistem demokrasi mencerminkan mekanisme politik yang dianggap bisa menjamin adanya pemerintah yang tanggap terhadap preferensi dan keinginan warga negaranya. Untuk itu rakyat harus diberi kesempatan untuk, (1) merumuskan profesinya dan kepentingannya sendiri. (2) memberitahukan profesinya itu kepada sesama warga negara, dan kepada pemerintah melalui tindakan individual maupun kolektif, dan (3) mengusahakan agar kepentingan itu dipertimbangkan secara setara dalam proses pembuatan keputusan pemerintah, artinya tidak didiskriminasikan berdasarkan usul-usulnya

Pada tataran negara demokrasi mengacu ke sistem pemerintahan oleh rakyat  dimana kedaulatan berada ditangan rakyat, bukan di tangan negara apalagi hanya ditangan rezim yang sedang berkuasa. Sistem pemerintahan yang demokrasi seperti demokrasi seperti dikemukakan Mohtar mas’oed tersebut di atas haruslah memenuhi tiga syarat pokok, yaitu : (1) adanya kompetisi, (2) adanya partisipasi politik (rakyat), (3) adanya kebebasan sipil berpolitik. Oleh karena itu, bentuk perjuangan demokrasi pada tataran negara ini akan sangat dipengaruhi oleh paradigma yang dipergunakan oleh seseorang atau kelompok sosial tertentu dalam memandang negara. Disatu sisi, syarat tegaknya pemerintahan demokrasi dikemukakan oleh Masdar adalah, (a) perlindungan konstitusional bahwa konstitusi selain menjamin hak-hak individu juga harus menentukan cara prosedural untuk memperoleh perlindungan atas hak-hak yang dijamin. (b) Pemilihan Umum yang bebas. Dalam sistem demokrasi modern, pemilu merupakan syarat fundamental bagi terselenggaranya demokrasi. (c) kebebasan untuk menyatakan pendapat, berserikat dan beroposisi. (d) Badan kehakiman yang bebas dan tidak memihak (independent and impartial tribunal). (e) pendidikan kewarganegaraan.

Dari uraian tersebut, maka mengaudit demokrasi itu lebih mengarah pada tataran real yang selama ini dipraktekkan oleh lembaga-lembaga Politik yang berpengaruh pada akses masyarakat. Mengaudit demokrasi artinya memerlukan kejelasan  dan evaluasi kinerja untuk memperhitungkan sejauhmana pelaksanaan demokrasi selama ini.  Apakah memiliki kekuatan atau tidak pada grass root masyarakat kita.  Ataukah praktek demokrasi selama ini mengalami pembekuan, sehingga perlu terapi baru untuk mencairkan.  Pertanyaan yang muncul adalah mengapa demokrasi bisa beku?, tidak heran jika kita meminjam terma ( George Sorensen, 2003),  dengan sebutan fronzen democracies maka menurutnya ada beberapa hal yang perlu di garis bawahi yaitu pertama; proses demokratisasi mengalami pembusukan karena ketidakmampuan pemerintah yang berkuasa melakukan perubahan-perubahan sosial, politik dan ekonomi yang mendasar sesuai dengan tuntutan reformasi, utamanya menyangkut dengan kepentingan dan perbaikan nasib masyarakat miskin.  Artinya pemerintahan yang tidak kuat dan tidak dilegitimasi dari masyarakatnya.

Jika dilihat sebuah pemerintahan yang kuat  adalah mencerminkan  ciri-ciri sebagai birokrasi yang effisien dan tidak korup, memiliki elit politik yang berkemauan dan mampu memberikan prioritas pada pembangunan ekonomi, memiliki kebijakan yang dirancang dengan baik untuk mencapai tujuan pembangunan. Kedua bila pemerintahan gagal dalam menciptakan tata tertib untuk mendorong terciptanya iklim kondusif bagi kelangsungan proses demokratisasi.  Ketiga proses konsolidasi, yakni praktek-praktek demokrasi tidak berkembang  dan tidak menjadi  bagian dari budaya politik.  Konsolidasi amat memerlukan partisipasi masyarakat pada tingkat lokal untuk membuat massa rakyat, sehingga lebih (1) mampu menaksir kinerja wakil-wakil rakyat ditingkat nasional, (2) mampu mengambil keputusan untuk  lingkup nasional, (3) mampu menimbang dampak keputusan yang diambil oleh wakil-wakil rakyat terhadap kehidupan masyarakat, dan (4) mampu menciptakan  persatuan nasional.

Untuk mengaudit demokrasi kita ke depan sehingga pemerintahan kita lebih stabil maka yang harus dilakukakan adalah: Para pemimpin tidak harus menggunakan koersi kekerasan, dalam meraih dan mempertahankan kekuasaan. Adanya organisasi masyarakat pluralis yang modern dan dinamis. Potensi konflik dalam pluralisme struktural dipertahankan pada tingkat yang masih dapat ditoleransi. Aktif dalam politik, ada budaya politik dan sistem keyakinan yang mendukung ide demokrasi. Membuka ruang publik yang mampu menampung aspirasi dan memperjuangkan dalam kepentingan semua stakeholders. Kebijakan pemerintah yang berhubungan dengan atau yang implementasinya dirasakan oleh masyarakat banyak harus memberikan ruang uuntuk berpartisipasi lebih luas.   

SUMBER BACAAN

Budairi, Muhammad.2002. Masyarakat Sipil dan Demokrasi. E-Law, Indonesia Kreasi Wacana, Yogyakarta.

Kumorotomo, Wahyudi.1992. Etika Adminsitrasi Negara, Raja Grafindo, Yogyakarta.
Masdar Umarudin, Hermawan Eman, 2001. Demokrasi Untuk Pemula,KLIK dan Garda Bangsa. Yogyakarta.

Markoff, John. 2001. Gelombang Demokrasi Dunia; Gerakan Sosial dan Perubahan Politik. Pustaka Pelajar, Yogyakarta.

Mas’oed, Mohtar. 1999. Negara, Kapital dan Demokrasi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.

Sorensen, Georg. 2003. Demokrasi dan Demokratisasi; proses dan prospek dalam sebuah dunia yang sedang berubah, pustaka pelajar.Yogyakarta. 

Tidak ada komentar: