Halaman

Sabtu, 23 Juni 2012

KEPEMIMPINAN, KEMANDIRIAN DAN PEMANFAATAN PELUANG DALAM PENGELOLAAN INVESTASI DAERAH DI ERA OTODA


Oleh Saiful Deni

Kebijakan atas munculnya persoalan otonomi daerah memiliki banyak alasan dan signifikan, antara tuntutan masyarakat di sisi lain, dengan  potensi sumber daya manusia (human resource), serta kekayaan daerah sebagai variable independen dalam menentukan sebuah prasyarat untuk mewujudkan masyarakat yang berkeadilan dalam persoalan pelayanan publik, pertumbuhan ekonomi, maupun pemerataan pembangunan sebagai kevalidan dalam memutuskan apakah sebuah daerah bisa dikategorikan sebagai daerah yang sudah memenuhi persyaratan kebijakan  otonomi daerah atau belum.

Dasar pemikiran ini memberikan inspirasi bagi penulis dalam menggagas ide-ide yang menentukan, apakah eksistensi dari sebuah otonomi daerah yang harus dimiliki oleh daerah seharusnya diputuskan karena adanya  kepentingan politik atau kebutuhan yang seharusnya diberikan kepada daerah karena benar-benar memiliki kekayaan sumber daya alam dan sumber daya manusia yang handal.  Bahkan di sisi lain, eksistensi otonomi daerah itu memiliki karakteristik tersendiri yakni dengan melihat sejarah secara diakronis yang dinahkodai oleh rezim otoriter Orde Baru dalam kepemimpinannya menjadi sesuatu yang sakral-sentralistik. Paradigma tersebut  perlu dirubah ke sebuah kepemimpinan yang lebih demokratis dan selalu melibatkan kepentingan orang banyak.


Kepemimpinan di era otonomi daerah di “reinventing” dalam sebuah paradigma baru yang berorinetasi pada “empowerment of society”.  Dalam membicarakan kepemimpinan di era otonomi daerah, perlu melihat kecenderungan yang ditampilkan oleh seorang pemimpin, apakah sesuai dengan visi dan misi dari  organisasi yang di pimpin dalam menganalisis isu-isu yang berkaitan dengan kemandirian daerah pada pelaksanaan otonomi di daerah  untuk dapat memanfaatkan peluang investasi. Penulis hanya memberikan analisis terhadap peran seorang pemimpin yang berkaitan dengan otonomisasi di daerah. Otonomi dan investasi sebagaimana telah diatur dalam Undang-undang No. 22 Tahun 1999, mengisyaratkan sekurang-kurangnya seorang pemimpin harus mempunyai pandangan  dan mampu mengimplementasikannya sehingga dapat mempengaruhi, memberi motivasi dalam pelaksanaan tugas tersebut, baik kepada para birokrat maupun pemberdayaan peran masyarakat. Karena hal tersebut dalam kewenangannya telah berubah yaitu “kewenangan daerah untuk mengurusi daerahnya sendiri atau kekuasaan yang desentralistik dan bukan sentralistik”.

Hubungannya dengan fungsi dan peran kepemimpinan dalam otonomisasi daerah tersebut maka harus didukung dengan sistem komunikasi yang handal karena hal tersebut mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap keberhasilan  dalam melakukan pemberdayaan terhadap investasi dan sumber-sumber yang dimiliki oleh daerah.  Hasil penelitian oleh  (Richard I Lester, 1995) menempatkan kepemimpinan pada rangking pertama  dari “Top Ten Leadership and Management Concerns”. Seorang pemimpin  juga harus mampu mempengaruhi proses-proses sosial, melakukan agenda-agenda pembangunan yang strategis dan mengarah pada kerja sama antara stakeholders yang ada. (Utomo, 2003).

Selain itu, esensi seorang pemimpin juga terletak pada trust (kepercayaan) untuk melakukan negosiasi-negosiasi terhadap investasi untuk daerahnya, sehingga semua pelaksanaan otonomi daerah dapat berhasil dengan baik antara visi, misi dan tujuan yang hendak dicapai untuk pelayanan publik dan pemberdayaannya.

Peran Kepemimpinan :
Suatu Konteks Kemandirian daerah

Sebuah Implementasi program kebijakan pemerintah ketika dioperasionalkan pada tataran di lapangan, maka dituntut berbagai  keahlian dan inovatif, yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin,  sehingga dapat mempengaruhi seluruh aktivitas dalam membangun masa depan daerah dengan mempertimbangkan berbagai peluang dan tantangan dalam mengambil dan menjalankan keputusan-keputusan strategis. Hal ini bertujuan mencapai sebuah masyarakat yang lebih demokratis, dan melakukan pemberdayaan sebagai upaya substansi dari otonomi daerah.

 Itulah peranan yang harus diambil oleh leadership dalam kaitannya dengan investasi di dalam pelayanan publik di daerah. Untuk itu seorang pemimpin di daerah harus mempunyai kemampuan. Yang meliputi pertama, komunitas unsur negara, yakni aparat pemerintahan dan legislator lokal harus memiliki sumberdaya manusia yang sesuai, dari kedua komponen tersebut harus seimbang sumber dayanya (Human Resource and Check and Balance), yang bisa mengarah pada interaksi kondusif dalam pelaksanaan tugas-tugas pemerintah dan kontrol terhadap aparat pelaksana. Kedua, dukungan potensi sumberdaya alam  daerah yang bisa dibangun  dengan kekuatan dana sendiri.

Ketiga, dimensi pengelolaan dan manajemen. Dalam hal ini, unsur leadership yang ada di pemerintahan daerah, memegang peranan penting, menyangkut dengan bagaimana menggerahkan sumber daya yang ada, mencari sumber-sumber pendukung, serta mengeksploitasi potensi-potensi ekonomi yang ada di daerah dengan kalkulasi yang berdimensi pembangunan yang berkelanjutan atau sustainability (Ida, 2002).
Dalam konteks ini,  dimensi  sosial, politik,  dan lingkungan fisikpun harus menjadi   pertimbangan utama dalam mengelola sumber daya yang ada di daerah. Dimensi sosial, yaitu berupa orientasi yang menguntungkan masyarakat lokal dalam mengelola sumber daya yang ada misalnya dengan menekankan pada prinsip local people oriented development program. Sedangkan, dimensi politik adalah mengelola elemen-elemen sosial politik secara fungsional dalam konteks demokrasi. Sementara itu dimensi lingkungan lebih tertuju pada perhitungan dengan prinsip yang berkelanjutan seperti di atas.

Dalam Undang-undang No 22/1999, ruh desentralisasi sangat mengental, utamanya ketika pemerintah pusat membatasi diri dan atau dibatasi hanya dalam lima kewenangan (Hankam, Fiskal, Moneter, Pengadilan, Agama dan kewenangan di bidang lain).

Konteks Undang-undang tersebut  merupakan upaya pemberi ruang seluas mungkin kepada komunitas lokal untuk berperan dalam segala proses kenegaraan dan kemasyarakatan. Dengan kata lain, UU tersebut berupaya mengembangkan nilai-nilai demokrasi secara serius, sehingga masyarakat tidak mengalami keresahan akibat dari peran dan eksploitasi elit politik dan ekonomi yang ada di tingkat pusat.   
Paling tidak esensi yang terkandung dalam otonomi daerah itu ada tiga bagian yaitu, (1) pengelolaan kekuasaan berpusat pada tingkat lokal yang berbasis pada rakyat. Pemerintah daerah diberikan kebebasan sepenuhnya untuk mengelola daerahnya. (2) dimensi ekonomi. Pada  tataran ini daerah diharapkan mampu menggali dan mengembangkan sumber-sumber ekonomi yang ada di wilayahnya.

Otonomi daerah dari dimensi ini berarti adanya kemampuan daerah untuk membiayai dirinya sendiri, memperkecil ketergantungan terhadap pemerintah pusat dan mampu membiayai dirinya. Dari sini ada dua strategi utama yang bisa dilakukan sekaligus  dalam hal ini, yaitu strategi pertumbuhan dan pemerataan.
Selanjutnya, (3) dimensi budaya. Dalam implementasi otonomi daerah, masyarakat atau rakyat harus diberikan kebebasan untuk berekspresi dalam mengembangkan kebudayaan lokal. Momentum otonomi daerah ini harus  dijadikan sebagai kebangkitan budaya berbasis lokal,  dan juga merupakan bangkitnya kembali kehidupan demokrasi pada tingkat lokal yang berbasis pada “local culture”.

Dengan berorientasi pada misi otonomi daerah untuk memperkuat posisi rakyat  di daerah dengan menjadikan kepemimpinan pemerintah sebagai fasilitator atau orang yang mempengaruhi, memotivasi, serta melindungi rakyatnya. Ini berarti bahwa dalam proses-proses pengambilan kebijakan publik harus melibatkan rakyat, sehingga kebijakan yang diambil tersebut diharapkan berdasarkan aspirasi masyarakat lokal. Substansi otonomi daerah sebenarnya adalah lebih pada upaya pemberdayaan rakyat lokal.


Kepemimpinan dan Pemanfaatan
Investasi Daerah

Menanggapi berbagai konflik yang terjadi di daerah dengan adanya pemberlakuan undang-undang otonomi daerah adalah menjadi potret dan tantangan yang harus dihadapi oleh daerah itu sendiri dengan berbagai kemampuannya.  Dengan demikian, untuk menciptakan pemerintah daerah yang lebih demokratis  dalam hal ini (leadership) atau pemimpin yang baik dalam otonomi daerah,   maka setidaknya perlu dilakukan tiga hal utama, yakni, (1) meningkatkan kualitas pelayanan kepada masyarakat lokal, sehingga keberadaan pemerintah daerah dianggap bermanfaat bagi masyarakat, (2) melakukan kontrol terhadap pemerintah lokal, (3) terus melakukan upaya-upaya penyadaran terhadap masyarakat untuk terlibat dalam berbagai proses pemerintahan (Ida, 2002).

Selain berbagai bentuk investasi pada pemerintahan otonomi daerah tersebut, maka sumber daya manusia sebagai sumber daya ekonomi, investasi pendidikan, faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas pendidikan, dan langkah-langkah strategis pengembangan sumber daya manusia bagi pemerintahan daerah dan kota (Boediono, 2001), menjadi instrumen yang penting dalam mendukung pelaksanaan investasi daerah dengan selalu mempertimbangkan berbagai potensi yang dimiliki oleh manusia maupun daerahnya.

Sementara itu, hasil dari investasi dalam sumber daya manusia dijelaskan oleh human capital theory. Teori ini menyatakan bahwa pendidikan, pelatihan atau bentuk investasi manusia yang lain menanamkan ilmu pengetahuan, nilai-nilai, keterampilan yang berguna pada manusia, sehingga manusia tersebut dapat meningkatkan kapasitas belajar dan produktifnya, yang memungkinkan mengejar tingkat pendidikan atau pelatihan yang lebih tinggi, dan meningkatkan pendapatan masa datang mereka dengan meningkatkan penghasilan seumur hidup mereka.

Investasi dalam kapital manusia bermanfaat dan mendatangkan biaya, baik bagi perseorangan    maupun bagi masyarakat secara keseluruhan. Orang yang mendapatkan pendidikan, pelatihan dan memperoleh manfaat dengan meningkatkan kesempatannya untuk melanjutkan pendidikan   atau pelatihan lebih lanjut atau mendapatkan pekerjaan dengan meningkatkan penghasilan seumur  hidup.
Untuk mendukung investasi daerah tersebut, maka kewenangan pemerintahan yang desentralistik atau pemimpin yang desentralistik merupakan modal dasar yang sangat penting untuk pembangunan daerah. Yang diharapkan dari pemerintah daerah itu adalah sejumlah hal, antara lain (1) Fasilitas.  Disamping fungsi yang lainnya, fungsi pemerintahan daerah yang esensial adalah segala bentuk kegiatan di daerah, terutama dalam bidang perekonomian.
Pemerintah daerah harus kreatif. Pembangunan daerah berkaitan, dengan  pula dengan inisiatif local, dan untuk berinisiatif diperlukan kreatifitas dari penyelenggaraan pemerintah.
(2) Pemimpin politik lokal yang stabil. Masyarakat dan pemerintah di daerah harus menciptakan suasana politik local yang kondusif bagi dunia usaha dan pembangunan ekonomi. (3) pemerintah daerah harus menjamin kesinambungan berusaha. Ada kecenderungan yang mengkhawatirkan berbagai pihak bahwa pemerintah daerah seringkali merusak tatanan yang sudah ada. (4) pemerintah daerah harus komunikatif dengan LSM/NGO, terutama dalam bidang perburuhan dan lingkungan hidup. (5) pemerintah daerah sekarang ini dituntut untuk memahami dengan insentif aspirasi yang berkembang di kalangan perburuhan, baik yang menyangkut dengan upah minimum dan jaminan lainnya. Hak-hak buruh pada umumnya, perlindungan kepada buruh wanita, ataupun yang menyangkut keselamatan  kerja dan kesehatan kerja (Syaukani, 2002).

Kelima elemen yang dijelaskan di atas merupakan prakondisi bagi terselenggaranya pembangunan daerah, dengan kebijaksanaan otonomi yang luas, maka peluang bagi daerah menjadi sangat luas pula, sehingga sangat tergantung pada daerah itu sendiri.
Yang paling utama bagi daerah adalah penciptaan lapangan kerja. Ukuran yang paling fundamental dalam sebuah negara modern adalah seberapa jauh pemerintah tersebut berhasil menciptakan lapangan kerja bagi kalangan warga masyarakat. Dari berbagai uraian tentang keterbatasan dan peluang dari pelaksanaan otonomi daerah, maka seorang pemimpin dituntut untuk  berperan  serta dalam mengimplementasikan semua elemen yang menyangkut dengan investasi-investasi yang mendukung terselenggaranya pemerintahan yang lebih demokratis dalam kerangka membangun pemerintah daerah dengan konsep otonomi daerah. Sehingga, dapat dikatakan bahwa pemerintah dalam kekuasaannya merupakan sarana bagi pemimpin untuk mempengaruhi perilaku pengikut-pengikutnya (Toha, 2002).

Pemimpin dan kekuasaan dalam pengelolaan daerah hendaknya tidak hanya menilai perilaku kepemimpinan mereka agar mengerti bagaimana  mempengaruhi orang lain, akan tetapi mereka seharusnya mengamati  posisi mereka dan cara menggunakan kekuasaannya. olehnya itu, hal lain yang menarik dan dijadikan sebagai investasi adalah kewenangan pengelolaan sumber daya alam dalam Undang-undang otonomi daerah, yang terdapat dalam ayat 2, yaitu kewenangan di bidang lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1), yang meliputi kebijakan tentang perencanaan nasional dan pengendalian pembangunan nasional secara makro, dan pertimbangan keuangan, system admnistrasi negara dan lembaga pendayagunaan sumber daya  alam serta teknologi yang strategis, konservasi, dan standarisasi nasional.

Jadi, bidang pemerintahan yang wajib dilaksanakan oleh daerah kabupaten dan daerah kota, meliputi  pekerjaan umum, kesehatan pendidikan dan kebudayaan, perhubungan,     industri, dan perdagangan, penanaman modal, lingkungan hidup, pertanahan, koperasi dan tenaga kerja (Heroepoetri, 2001).
Dari bidang-bidang yang ditetapkan di atas,    tentunya harus dilaksanakan oleh pemerintah daerah/kota dalam rangka pelayanan kepada masyarakat sebagai satu visi dan misi sebagai pemberlakuan otonomi daerah itu sendiri, yang tetap mengacu pada pemberdayaan masyarakat dengan selalu meningkatkan kualitas pelayanan yang strategis dalam mengambil dan mengimplementasikan hal tersebut oleh pemimpin.

Misalnya kita mengambil contoh masalah investasi di daerah yang  merosot, seperti masalah  evaluasi. Jika masalah umum maka evaluasinya terjadi penurunan investasi, yang perinciannya adalah masalah infrastruktur, masalah perizinan, masalah keamanan, masalah ketenagakerjaan dan masalah perpajakan. Dan strategi inti yang harus dievaluasi adalah masalah kepastian hokum dan  perizinan (Nugroho, 2003). Dengan melihat masalah strategi tersebut, maka daerah dapat menyusun kebijakan publik di daerah yang mendukung terciptanya kepastian hukum perizinan di daerah, khususnya pada investasi- yang tidak berkenaan dengan keamanan nasional. Otonomi daerah pada prinsipnya menegaskan bahwa masalah  daerah seharusnya diselesaikan di daerah.  Jika terjadi atau timbul permasalahan, yang kompleks dan rumit, maka langsung naik dan masuk ke jenjang pemerintahan yang lebih tinggi atau ke pusat.

Kepastian hukum perizinan dapat diperkuat dengan memberdayakan pimpinan daerah melalui BKPMD sebagai mitra yang menyediakan diri untuk memperlancar perizinan ke pusat. Jadi, inti dari pekerjaan yang dilakukan disini adalah bagaimana kita memisahkan antara masalah teknis dan strategis. Kecenderungannya seorang pemimpin memilih masalah teknis dari pada  strategis. Memang mudah dilaksanakan, hasilnya langsung tampak nyata, mudah diukur hasilnya, dan bahkan seorang pemimpin mudah memperoleh popularitas masa.

Dari berbagai penjelasan tentang kemandirian daerah-daerah di dalam pelaksanaan otonomi untuk memanfaatkan peluang berbagai investasi di daerah, maka seorang pemimpin harus memiliki visi dan implementasi yang jelas, sehingga dalam pelaksanaannya dapat berguna bagi daerah yang pimpin dengan mengorganisir berbagai potensi yang dimilikinya beserta para aparat birokratnya. Hal ini termasuk di dalamnya bagaimana proses mempengaruhi, memotivasi, bahkan memaksa sekalipun pada tataran yang wajar untuk dilakukan. Sehingga, konsep kekuasaan yang  desentralistik pada era otonomi sekarang dapat dijalankan kewenangannya oleh seorang pemimpin pada bidang-bidang yang sesuai dengan isi Undang-undang otonomisasi daerah.  Semoga tulisan ini menjadi inspirasi bagi pemerintah yang ada di daerah (otonomi daerah) baik itu eksekutif (Bupati sebagai implementor kebijakan), legislative (DPR sebagai Lembaga Perumus kebijakan) maupun para pemerhati masyarakat sebagai aktor-aktor kebijakan dalam pembangunan daerah.

Strategi Kebijakan

Untuk menginginkan sebuah kepemimpinan yang responsibel, mandiri, terpercaya, dan mampu menggerakan berbagai potensi sumber daya alam dan sumber daya manusia yang dapat dimanfaatkan, serta  keterlibatan para stakeholder dalam mengupayakan terlaksananya konsep otonomi daerah merupakan sebuah kesepakatan yang masih parsial, maka dalam memberikan rekomendasi semestinya memperjelas suatu pemberdayaan sebagaimana substansi dari otonomi daerah. Jadi,  langkah–langkah yang harus dilakukan ke depan adalah : 

pertama, pemberdayaan terhadap aparat birokrat sebagai pemimpin dalam mendukung pelaksanaaan otonomisasi di daerah sebagai upaya memperkuat demokrasi lokal. Kedua, adanya kesepahaman yang mendalam tentang otonomi daerah antara masyarakat sebagai objek dan pemerintah (negara) sebagai pelaksana kebijakan. Ketiga, kepemimpinan dalam membangun daerah harus menggunakan gaya kepemimpinan yang demokratis, partisipatif, dan lebih profesional dalam pengelolaan investasi daerah baik itu secara fisik maupun non fisik. Keempat,  harus mengembalikan kepemimpinan yang sentralistik menuju desentralistik sebagai upaya untuk membangun paradigma pengelolaan dari masyarakat (arus bawah) karena otonomi daerah cenderung lebih menguntungkan  para pejabat di daerah sebagai pemegang kekuasaan dibandingkan dengan masyarakat. Kelima, semoga otonomi daerah tetap survival dalam koridor aturan atas kebijakan pemerintah yang sungguh-sungguh memanfaatkan dan melaksanakan secara mandiri sesuai dengan potensi daerah.



Tidak ada komentar: