Oleh Saiful Deni
Kebijakan atas munculnya persoalan otonomi daerah memiliki
banyak alasan dan signifikan, antara tuntutan masyarakat di sisi lain,
dengan potensi sumber daya manusia
(human resource), serta kekayaan daerah sebagai variable independen dalam
menentukan sebuah prasyarat untuk mewujudkan masyarakat yang berkeadilan dalam
persoalan pelayanan publik, pertumbuhan ekonomi, maupun pemerataan pembangunan
sebagai kevalidan dalam memutuskan apakah sebuah daerah bisa dikategorikan
sebagai daerah yang sudah memenuhi persyaratan kebijakan otonomi daerah atau belum.
Dasar pemikiran ini memberikan inspirasi bagi penulis dalam
menggagas ide-ide yang menentukan, apakah eksistensi dari sebuah otonomi daerah
yang harus dimiliki oleh daerah seharusnya diputuskan karena adanya kepentingan politik atau kebutuhan yang
seharusnya diberikan kepada daerah karena benar-benar memiliki kekayaan sumber
daya alam dan sumber daya manusia yang handal.
Bahkan di sisi lain, eksistensi otonomi daerah itu memiliki
karakteristik tersendiri yakni dengan melihat sejarah secara diakronis yang dinahkodai
oleh rezim otoriter Orde Baru dalam kepemimpinannya menjadi sesuatu yang
sakral-sentralistik. Paradigma tersebut
perlu dirubah ke sebuah kepemimpinan yang lebih demokratis dan selalu
melibatkan kepentingan orang banyak.
Kepemimpinan di era otonomi daerah di “reinventing” dalam
sebuah paradigma baru yang berorinetasi pada “empowerment of society”. Dalam membicarakan kepemimpinan di era
otonomi daerah, perlu melihat kecenderungan yang ditampilkan oleh seorang
pemimpin, apakah sesuai dengan visi dan misi dari organisasi yang di pimpin dalam menganalisis
isu-isu yang berkaitan dengan kemandirian daerah pada pelaksanaan otonomi di
daerah untuk dapat memanfaatkan peluang
investasi. Penulis hanya memberikan analisis terhadap peran seorang pemimpin yang
berkaitan dengan otonomisasi di daerah. Otonomi dan investasi sebagaimana telah
diatur dalam Undang-undang No. 22 Tahun 1999, mengisyaratkan sekurang-kurangnya
seorang pemimpin harus mempunyai pandangan
dan mampu mengimplementasikannya sehingga dapat mempengaruhi, memberi
motivasi dalam pelaksanaan tugas tersebut, baik kepada para birokrat maupun
pemberdayaan peran masyarakat. Karena hal tersebut dalam kewenangannya telah
berubah yaitu “kewenangan daerah untuk mengurusi daerahnya sendiri atau
kekuasaan yang desentralistik dan bukan sentralistik”.
Hubungannya dengan fungsi dan peran kepemimpinan dalam
otonomisasi daerah tersebut maka harus didukung dengan sistem komunikasi yang
handal karena hal tersebut mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap keberhasilan dalam melakukan pemberdayaan terhadap
investasi dan sumber-sumber yang dimiliki oleh daerah. Hasil penelitian oleh (Richard I Lester, 1995) menempatkan
kepemimpinan pada rangking pertama dari
“Top Ten Leadership and Management Concerns”. Seorang pemimpin juga harus mampu mempengaruhi proses-proses
sosial, melakukan agenda-agenda pembangunan yang strategis dan mengarah pada
kerja sama antara stakeholders yang ada. (Utomo, 2003).
Selain itu, esensi seorang pemimpin juga terletak pada trust
(kepercayaan) untuk melakukan negosiasi-negosiasi terhadap investasi untuk
daerahnya, sehingga semua pelaksanaan otonomi daerah dapat berhasil dengan baik
antara visi, misi dan tujuan yang hendak dicapai untuk pelayanan publik dan
pemberdayaannya.
Peran Kepemimpinan :
Suatu Konteks Kemandirian daerah
Sebuah Implementasi program kebijakan pemerintah ketika
dioperasionalkan pada tataran di lapangan, maka dituntut berbagai keahlian dan inovatif, yang harus dimiliki
oleh seorang pemimpin, sehingga dapat
mempengaruhi seluruh aktivitas dalam membangun masa depan daerah dengan
mempertimbangkan berbagai peluang dan tantangan dalam mengambil dan menjalankan
keputusan-keputusan strategis. Hal ini bertujuan mencapai sebuah masyarakat
yang lebih demokratis, dan melakukan pemberdayaan sebagai upaya substansi dari
otonomi daerah.
Itulah peranan yang
harus diambil oleh leadership dalam kaitannya dengan investasi di dalam
pelayanan publik di daerah. Untuk itu seorang pemimpin di daerah harus
mempunyai kemampuan. Yang meliputi pertama, komunitas unsur negara, yakni
aparat pemerintahan dan legislator lokal harus memiliki sumberdaya manusia yang
sesuai, dari kedua komponen tersebut harus seimbang sumber dayanya (Human
Resource and Check and Balance), yang bisa mengarah pada interaksi kondusif
dalam pelaksanaan tugas-tugas pemerintah dan kontrol terhadap aparat pelaksana.
Kedua, dukungan potensi sumberdaya alam
daerah yang bisa dibangun dengan
kekuatan dana sendiri.
Ketiga, dimensi pengelolaan dan manajemen. Dalam hal ini,
unsur leadership yang ada di pemerintahan daerah, memegang peranan penting,
menyangkut dengan bagaimana menggerahkan sumber daya yang ada, mencari
sumber-sumber pendukung, serta mengeksploitasi potensi-potensi ekonomi yang ada
di daerah dengan kalkulasi yang berdimensi pembangunan yang berkelanjutan atau
sustainability (Ida, 2002).
Dalam konteks ini,
dimensi sosial, politik, dan lingkungan fisikpun harus menjadi pertimbangan utama dalam mengelola sumber
daya yang ada di daerah. Dimensi sosial, yaitu berupa orientasi yang
menguntungkan masyarakat lokal dalam mengelola sumber daya yang ada misalnya
dengan menekankan pada prinsip local people oriented development program.
Sedangkan, dimensi politik adalah mengelola elemen-elemen sosial politik secara
fungsional dalam konteks demokrasi. Sementara itu dimensi lingkungan lebih
tertuju pada perhitungan dengan prinsip yang berkelanjutan seperti di atas.
Dalam Undang-undang No 22/1999, ruh desentralisasi sangat
mengental, utamanya ketika pemerintah pusat membatasi diri dan atau dibatasi
hanya dalam lima kewenangan (Hankam, Fiskal, Moneter, Pengadilan, Agama dan
kewenangan di bidang lain).
Konteks Undang-undang tersebut merupakan upaya pemberi ruang seluas mungkin
kepada komunitas lokal untuk berperan dalam segala proses kenegaraan dan
kemasyarakatan. Dengan kata lain, UU tersebut berupaya mengembangkan
nilai-nilai demokrasi secara serius, sehingga masyarakat tidak mengalami
keresahan akibat dari peran dan eksploitasi elit politik dan ekonomi yang ada
di tingkat pusat.
Paling tidak esensi yang terkandung dalam otonomi daerah itu
ada tiga bagian yaitu, (1) pengelolaan kekuasaan berpusat pada tingkat lokal
yang berbasis pada rakyat. Pemerintah daerah diberikan kebebasan sepenuhnya
untuk mengelola daerahnya. (2) dimensi ekonomi. Pada tataran ini daerah diharapkan mampu menggali
dan mengembangkan sumber-sumber ekonomi yang ada di wilayahnya.
Otonomi daerah dari dimensi ini berarti adanya kemampuan
daerah untuk membiayai dirinya sendiri, memperkecil ketergantungan terhadap
pemerintah pusat dan mampu membiayai dirinya. Dari sini ada dua strategi utama
yang bisa dilakukan sekaligus dalam hal
ini, yaitu strategi pertumbuhan dan pemerataan.
Selanjutnya, (3) dimensi budaya. Dalam implementasi otonomi
daerah, masyarakat atau rakyat harus diberikan kebebasan untuk berekspresi
dalam mengembangkan kebudayaan lokal. Momentum otonomi daerah ini harus dijadikan sebagai kebangkitan budaya berbasis
lokal, dan juga merupakan bangkitnya
kembali kehidupan demokrasi pada tingkat lokal yang berbasis pada “local
culture”.
Dengan berorientasi pada misi otonomi daerah untuk
memperkuat posisi rakyat di daerah
dengan menjadikan kepemimpinan pemerintah sebagai fasilitator atau orang yang
mempengaruhi, memotivasi, serta melindungi rakyatnya. Ini berarti bahwa dalam
proses-proses pengambilan kebijakan publik harus melibatkan rakyat, sehingga
kebijakan yang diambil tersebut diharapkan berdasarkan aspirasi masyarakat
lokal. Substansi otonomi daerah sebenarnya adalah lebih pada upaya pemberdayaan
rakyat lokal.
Kepemimpinan dan Pemanfaatan
Investasi Daerah
Menanggapi berbagai konflik yang terjadi di daerah dengan
adanya pemberlakuan undang-undang otonomi daerah adalah menjadi potret dan
tantangan yang harus dihadapi oleh daerah itu sendiri dengan berbagai
kemampuannya. Dengan demikian, untuk
menciptakan pemerintah daerah yang lebih demokratis dalam hal ini (leadership) atau pemimpin yang
baik dalam otonomi daerah, maka
setidaknya perlu dilakukan tiga hal utama, yakni, (1) meningkatkan kualitas
pelayanan kepada masyarakat lokal, sehingga keberadaan pemerintah daerah
dianggap bermanfaat bagi masyarakat, (2) melakukan kontrol terhadap pemerintah
lokal, (3) terus melakukan upaya-upaya penyadaran terhadap masyarakat untuk
terlibat dalam berbagai proses pemerintahan (Ida, 2002).
Selain berbagai bentuk investasi pada pemerintahan otonomi
daerah tersebut, maka sumber daya manusia sebagai sumber daya ekonomi,
investasi pendidikan, faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas pendidikan, dan
langkah-langkah strategis pengembangan sumber daya manusia bagi pemerintahan
daerah dan kota (Boediono, 2001), menjadi instrumen yang penting dalam
mendukung pelaksanaan investasi daerah dengan selalu mempertimbangkan berbagai
potensi yang dimiliki oleh manusia maupun daerahnya.
Sementara itu, hasil dari investasi dalam sumber daya
manusia dijelaskan oleh human capital theory. Teori ini menyatakan bahwa
pendidikan, pelatihan atau bentuk investasi manusia yang lain menanamkan ilmu
pengetahuan, nilai-nilai, keterampilan yang berguna pada manusia, sehingga
manusia tersebut dapat meningkatkan kapasitas belajar dan produktifnya, yang
memungkinkan mengejar tingkat pendidikan atau pelatihan yang lebih tinggi, dan
meningkatkan pendapatan masa datang mereka dengan meningkatkan penghasilan
seumur hidup mereka.
Investasi dalam kapital manusia bermanfaat dan mendatangkan
biaya, baik bagi perseorangan maupun
bagi masyarakat secara keseluruhan. Orang yang mendapatkan pendidikan,
pelatihan dan memperoleh manfaat dengan meningkatkan kesempatannya untuk
melanjutkan pendidikan atau pelatihan
lebih lanjut atau mendapatkan pekerjaan dengan meningkatkan penghasilan
seumur hidup.
Untuk mendukung investasi daerah tersebut, maka kewenangan
pemerintahan yang desentralistik atau pemimpin yang desentralistik merupakan
modal dasar yang sangat penting untuk pembangunan daerah. Yang diharapkan dari
pemerintah daerah itu adalah sejumlah hal, antara lain (1) Fasilitas. Disamping fungsi yang lainnya, fungsi pemerintahan
daerah yang esensial adalah segala bentuk kegiatan di daerah, terutama dalam
bidang perekonomian.
Pemerintah daerah harus kreatif. Pembangunan daerah
berkaitan, dengan pula dengan inisiatif
local, dan untuk berinisiatif diperlukan kreatifitas dari penyelenggaraan
pemerintah.
(2) Pemimpin politik lokal yang stabil. Masyarakat dan
pemerintah di daerah harus menciptakan suasana politik local yang kondusif bagi
dunia usaha dan pembangunan ekonomi. (3) pemerintah daerah harus menjamin
kesinambungan berusaha. Ada kecenderungan yang mengkhawatirkan berbagai pihak
bahwa pemerintah daerah seringkali merusak tatanan yang sudah ada. (4)
pemerintah daerah harus komunikatif dengan LSM/NGO, terutama dalam bidang
perburuhan dan lingkungan hidup. (5) pemerintah daerah sekarang ini dituntut untuk
memahami dengan insentif aspirasi yang berkembang di kalangan perburuhan, baik
yang menyangkut dengan upah minimum dan jaminan lainnya. Hak-hak buruh pada
umumnya, perlindungan kepada buruh wanita, ataupun yang menyangkut keselamatan kerja dan kesehatan kerja (Syaukani, 2002).
Kelima elemen yang dijelaskan di atas merupakan prakondisi
bagi terselenggaranya pembangunan daerah, dengan kebijaksanaan otonomi yang
luas, maka peluang bagi daerah menjadi sangat luas pula, sehingga sangat
tergantung pada daerah itu sendiri.
Yang paling utama bagi daerah adalah penciptaan lapangan
kerja. Ukuran yang paling fundamental dalam sebuah negara modern adalah
seberapa jauh pemerintah tersebut berhasil menciptakan lapangan kerja bagi
kalangan warga masyarakat. Dari berbagai uraian tentang keterbatasan dan
peluang dari pelaksanaan otonomi daerah, maka seorang pemimpin dituntut
untuk berperan serta dalam mengimplementasikan semua elemen
yang menyangkut dengan investasi-investasi yang mendukung terselenggaranya
pemerintahan yang lebih demokratis dalam kerangka membangun pemerintah daerah
dengan konsep otonomi daerah. Sehingga, dapat dikatakan bahwa pemerintah dalam
kekuasaannya merupakan sarana bagi pemimpin untuk mempengaruhi perilaku
pengikut-pengikutnya (Toha, 2002).
Pemimpin dan kekuasaan dalam pengelolaan daerah hendaknya
tidak hanya menilai perilaku kepemimpinan mereka agar mengerti bagaimana mempengaruhi orang lain, akan tetapi mereka
seharusnya mengamati posisi mereka dan
cara menggunakan kekuasaannya. olehnya itu, hal lain yang menarik dan dijadikan sebagai
investasi adalah kewenangan pengelolaan sumber daya alam dalam Undang-undang
otonomi daerah, yang terdapat dalam ayat 2, yaitu kewenangan di bidang lain
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), yang meliputi kebijakan tentang perencanaan
nasional dan pengendalian pembangunan nasional secara makro, dan pertimbangan
keuangan, system admnistrasi negara dan lembaga pendayagunaan sumber daya alam serta teknologi yang strategis, konservasi,
dan standarisasi nasional.
Jadi, bidang pemerintahan yang wajib dilaksanakan oleh
daerah kabupaten dan daerah kota, meliputi
pekerjaan umum, kesehatan pendidikan dan kebudayaan, perhubungan, industri, dan perdagangan, penanaman
modal, lingkungan hidup, pertanahan, koperasi dan tenaga kerja (Heroepoetri,
2001).
Dari bidang-bidang yang ditetapkan di atas, tentunya harus dilaksanakan oleh pemerintah
daerah/kota dalam rangka pelayanan kepada masyarakat sebagai satu visi dan misi
sebagai pemberlakuan otonomi daerah itu sendiri, yang tetap mengacu pada
pemberdayaan masyarakat dengan selalu meningkatkan kualitas pelayanan yang
strategis dalam mengambil dan mengimplementasikan hal tersebut oleh pemimpin.
Misalnya kita mengambil contoh masalah investasi di daerah
yang merosot, seperti masalah evaluasi. Jika masalah umum maka evaluasinya
terjadi penurunan investasi, yang perinciannya adalah masalah infrastruktur,
masalah perizinan, masalah keamanan, masalah ketenagakerjaan dan masalah
perpajakan. Dan strategi inti yang harus dievaluasi adalah masalah kepastian
hokum dan perizinan (Nugroho, 2003).
Dengan melihat masalah strategi tersebut, maka daerah dapat menyusun kebijakan
publik di daerah yang mendukung terciptanya kepastian hukum perizinan di daerah,
khususnya pada investasi- yang tidak berkenaan dengan keamanan nasional.
Otonomi daerah pada prinsipnya menegaskan bahwa masalah daerah seharusnya diselesaikan di
daerah. Jika terjadi atau timbul
permasalahan, yang kompleks dan rumit, maka langsung naik dan masuk ke jenjang
pemerintahan yang lebih tinggi atau ke pusat.
Kepastian hukum perizinan dapat diperkuat dengan
memberdayakan pimpinan daerah melalui BKPMD sebagai mitra yang menyediakan diri
untuk memperlancar perizinan ke pusat. Jadi, inti dari pekerjaan yang dilakukan
disini adalah bagaimana kita memisahkan antara masalah teknis dan strategis.
Kecenderungannya seorang pemimpin memilih masalah teknis dari pada strategis. Memang mudah dilaksanakan,
hasilnya langsung tampak nyata, mudah diukur hasilnya, dan bahkan seorang
pemimpin mudah memperoleh popularitas masa.
Dari berbagai penjelasan tentang kemandirian daerah-daerah
di dalam pelaksanaan otonomi untuk memanfaatkan peluang berbagai investasi di
daerah, maka seorang pemimpin harus memiliki visi dan implementasi yang jelas,
sehingga dalam pelaksanaannya dapat berguna bagi daerah yang pimpin dengan
mengorganisir berbagai potensi yang dimilikinya beserta para aparat
birokratnya. Hal ini termasuk di dalamnya bagaimana proses mempengaruhi,
memotivasi, bahkan memaksa sekalipun pada tataran yang wajar untuk dilakukan.
Sehingga, konsep kekuasaan yang
desentralistik pada era otonomi sekarang dapat dijalankan kewenangannya
oleh seorang pemimpin pada bidang-bidang yang sesuai dengan isi Undang-undang
otonomisasi daerah. Semoga tulisan ini
menjadi inspirasi bagi pemerintah yang ada di daerah (otonomi daerah) baik itu
eksekutif (Bupati sebagai implementor kebijakan), legislative (DPR sebagai
Lembaga Perumus kebijakan) maupun para pemerhati masyarakat sebagai aktor-aktor
kebijakan dalam pembangunan daerah.
Strategi Kebijakan
Untuk menginginkan sebuah kepemimpinan yang responsibel,
mandiri, terpercaya, dan mampu menggerakan berbagai potensi sumber daya alam
dan sumber daya manusia yang dapat dimanfaatkan, serta keterlibatan para stakeholder dalam mengupayakan
terlaksananya konsep otonomi daerah merupakan sebuah kesepakatan yang masih
parsial, maka dalam memberikan rekomendasi semestinya memperjelas suatu
pemberdayaan sebagaimana substansi dari otonomi daerah. Jadi, langkah–langkah yang harus dilakukan ke depan
adalah :
pertama, pemberdayaan terhadap aparat birokrat sebagai pemimpin dalam
mendukung pelaksanaaan otonomisasi di daerah sebagai upaya memperkuat demokrasi
lokal. Kedua, adanya kesepahaman yang mendalam tentang otonomi daerah antara
masyarakat sebagai objek dan pemerintah (negara) sebagai pelaksana kebijakan.
Ketiga, kepemimpinan dalam membangun daerah harus menggunakan gaya kepemimpinan
yang demokratis, partisipatif, dan lebih profesional dalam pengelolaan
investasi daerah baik itu secara fisik maupun non fisik. Keempat, harus mengembalikan kepemimpinan yang
sentralistik menuju desentralistik sebagai upaya untuk membangun paradigma
pengelolaan dari masyarakat (arus bawah) karena otonomi daerah cenderung lebih
menguntungkan para pejabat di daerah
sebagai pemegang kekuasaan dibandingkan dengan masyarakat. Kelima, semoga
otonomi daerah tetap survival dalam koridor aturan atas kebijakan pemerintah
yang sungguh-sungguh memanfaatkan dan melaksanakan secara mandiri sesuai dengan
potensi daerah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar