Halaman

Sabtu, 23 Juni 2012

PILKADAL DAN AKUNTABILITAS BIROKRASI DI INDONESIA


Oleh Saiful Deni

Pilkadal yang dilaksanakan di setiap daerah merupakan perwujudan dari demokrasi langsung terhadap jaminan kedaulatan rakyat, yang dapat memilih pimpinan masa depan daerah.  Dengan selalu berpandanga bahwa Pilkadal adalah wahana masyarakat Indonesia  dalam memilih kepala daerah  untuk menyampaikan visi dan misi program kebijakan kepada masyarakat, yakni sebagai sebuah evaluasi kepala daerah dalam mengemban amanah kepemimpinan ke depan. Bahkan antara program kebijakan yang disampaikan harus  berbanding lurus dengan realisasi dilapangan dalam memenuhi kebutuhan publik, sebagaimana janji-jani politik ketika kampanye.  Karena itu sudah saatnya kita mengaudit demokrasi di Indonesia.

Kata Kunci : Pilkadal. Akuntabilitas, dan Birokrasi 

  
                      
PENDAHULUAN
      
Suhu politik menjelang pemilihan kepala daerah langsung( Pilkadal)  pada bulan Juni 2005 semakin memanas, karena melibatkan berbagai pendukung yangt variatif, yakni dimulai dari aparat birokrat sampai pada masyarakat grass root pun memberikan dukungan bagi pilihan calon kepala daerah mereka.  Kemudian gonjang-ganjing elit politik dan birokrat di daerah yang nyaris mempersoalkan pemilihan kepala daerah lansung mengenai dana, tahap penyelenggaraan, konflik antara pendukung salah satu calon dengan KPUD, mempersoalkan netralitas PNS,  membangun dan menciptakan raja-raja kecil di daerah, bangkitnya paternalistik,  dan sampai pada, apakah pilkadal adalah sebuah pilihan menuju demokrasi lokal di daerah yang mampu memberikan solusi bagi akuntabilitas birokrasi publik sebagai perwujudan dari Program kebijakan calon kepala daerah yang sedang berlangsung atau pasca pemilihan ?. apakah bisa dipertanggungjawabkan atau berbalik masyarakat sebagai pemilih melakukan pembangkangan dan anarkis demokrasi karena ketidak sesuaian antara harapan dan kenyataan di lapangan.

Sehingga,  yang terjadi adalah sebuah potret pelaksanaan demokrasi yang anarkis ditampilkan diberbagai daerah di Indonesia seperti di daerah, Banyumas, Situbondo, Gowa, Toba, Samosir, Rejang Lebong, Tanah Toraja,Kepulauan Sula, Bacan, (Halsel), Kaur,  Bima dan daerah lain (Lihat Kompas, Selasa 2 Agustus 2005). Apakah hal tersebut disebabkan oleh masyarakat yang memiliki pengetahuan apa adanya ataukah karena faktor lain yang menstimulir yaitu (1) ketidakpercayaan masyarakat  terhadap berbagai aturan  Pilkada (2) mayarakat kita di Indonesia pun belum siap menerima kekalahan  dalam sebuah pertarungan pesta demokrasi, (3) kegagalan partai politik. Memiliki makna bahwa selama ini sebelum pelaksanaan Pilkada di Indonesia partai politik yang gagal memberikan pendidikan politik pada masyarakat, padahal dalam pasal 9 UU N0 31/ 2003 tentang partai politik menyebutkan, partai politik berfungsi sebagai sarana pendididkan politik bagi anggota dan masyarakat agar menjadi warga negara RI yang sadar akan hak dan kewajibannya dalam bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Yang yang terkahir bahwa anarkis yang menagatasnamakan demokrasi, harus melakukan introspeksi diri bagi parpol, dan bebagai lembaga yang terkait dalam pelaksanaan Pilkada di Indonesia.

Potret lain yang di tampilkan dari wajah Pilkada adalah Pelaksanaan nya  baru berkisar 25% dari total Pilkada yang telah diselenggarakan sampai lima tahun ke depan, kemudian masih terbuka ruang lebar untuk memperbaiki kekurangan sejauh ada kemauan politik (Kompas, 1 agustus 2005). Berangkat dari perspektif tersebut, maka kita harus melakukan kritis yang konstruktif kepada pemerintah, lembaga legislative, dan KPUD se Indonesia melalui sebuah lembaga independen yang fungsinya sebagai pengontrol pelaksanaan Pilkada yang di mulai dari pendaftaran calon sampai pada pelantikan hasil pilkada itu sendiri. Sehingga hal ini mengeliminir terjadi praktek politik uang oleh para calon  dan menjamin sebuah keadilan dalam Pilkada.

Dari berbagai isu dan fenomena tersebut, idealnya sebuah pemilihan kepala daerah harus memiliki tujuan yang jelas atau dengan kata lain visi dan misinya dapat dipertanggungjawabkan pada masyarakat atau konstituennya, sehingga menghasilkan pemimpin yang dalam hegemoninya mampu membangun masyarakat menuju pada tatanan kehidupan daerah yang lebih demokratis yaitu selalu mempraktekkan demokrasi yang substansial (nilai hakiki), dimana demokrasi hanya bisa tegak kalau ada suatu nilai-nilai atau budaya yang memungkinkan rakyat bisa memiliki kedaulatan dalam arti yang sesungguhnya. Misalnya kebebasan dan budaya menghormati kebebasan orang lain, adanya pluralisme dan toleransi, anti kekerasan dan sebagainya, dan bukan demokrasi prosedural(aturan dan tata cara), dimana demokrasi hanya bisa tegak jika ada prosedural-prosedural formal yang memungkinkan nilai dan budaya demokrasi ada dan berjalan, misalnya pemilu yang bebas, adanya DPR yang kuat, dan lembaga yudikatif yang independen, ( Masdar & Hermawan, 2001: 29), tetapi  mungkinkah  bangsa Indonesia telah melaksanakan sebuah demokrasi yang substansial yang sesuai dengan kondisi dan budaya masyarakat Indonesia ? jawabannya adalah belum melaksanakan secara optimal dan sempurna karena yang terjadi itu adalah praktek-praktek demokrasi prosedurall atau demokrasi ala elit politik yang selama ini di praktekkan di negara kita.  Pada hal idealanya praktek demokrasi ini akan bermuarah pada sebuah kekuasaan yang substanstifnya ada pada masyarakat.  Artinya, kekuasaan pada  hakekatnya milik rakyat (Prihatmoko, 2003 : 92)  dan digunakan sepenuhnya un tuk kepentingan dan kesejahteraan rakyat.  Karena hal ini jika dicermati dalam  paham demokrasi dikenal adagium demokrasi klasik bahwa suara rakyat adalah suara Tuhan (Vox Populis Vox Dei).  Dengan demikian, maka sumber pembenaran kekuasaan tertinggi dalam pelaksanaaa pemilihan kepala daerah maupun anggota dewan  akuntabilitasnya harus disampaikan kepada rakyat dan tidak dapat ditawar-tawar lagi.

Pelaksanaa pilkada sebagai sebuah fungsi demokrasi yang prosedural juga memiliki alasan yangt kuat karena terkait dengan dasar negara yaitu pada UUD 1945 pada pasal 18 menyatakan bahwa pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota dilaksanakan secara demokratis, bahkan Pilkadal secara demokratis ini juga didukung dengan Undang-Undang 32 tahun 2004 dan diperkuat oleh PP No 6 tahun 2005.  Maka muncul pertanyaan “Apakah Pilkadal menjamin akuntabilitas birokrasi publik dapat dilaksanakan dengan prinsip-prinsip demokrasi menuju demokratisasi diberbagai lini kehidupan publik di daerah”?. Untuk menjawab persoalan ini tentunya kita tidak bisa berpandangan  bahwa pemilihan kepala daerah langsung itu hanya menggugurkan kewajiban dalam memilih calon kepala daerah akan tetapi  sebagai warga negara untuk memilih calon  memiliki sejumlah alasan menuju akuntabilitas birokrasi  publik yang lebih kredibel dan memiliki nilai-nilai utama  masyarakat dengan nuansa dan tatanan yang lebih baik, tanpa ada intimidasi dari berbagai pihak dalam menjalankan  kehidupan demokrasinya.

Potret lain dari masalah pelaksanaan pemilihan kepala daerah langsung adalah belum terpenuhinya harapan masyarakat terhadap partai-partai politik  yang belum merefor-masi diri dengan memperbaiki struktur, program dan komitmennya dalam menjalankan demokrasi secara lebih baik.  Karena boleh jadi sebuah pesta demokrasi yang dilaksanakan di daerah telah terputusnya hubungan antara pemilih dan partai politik dalam mendongrak partisipasi dan keinginan masyarakat, sehingga kondisi ini Menurut ( Eko, 2005: 5 ) akan menyebabkan dua hal; (1) terjadi  gelombang demonstrasi dan pembangkangan  untuk tidak memilih salah satu calon  yang diusung oleh partai politik; (2) menebalnya pragmatisme dengan selalu mempraktekkan money politic.

Dari dua masalah tersebut, dalam pelaksanaan demokrasi langsung lewat Pilkada di daerah telah menghilangkan makna strategis yang dari sebuah demokrasi yang substantif. Tetapi sebaliknya kondisi ini memungkin terjadi demoralisasi  politik pasca Pilkada.  Artinya idealnya sebuah pemilihan secara langsung memiliki keterkaitannya antara apa yang di sampaikan dalam kampanye dengan berbagai program yang ditawarkan akan lebih efektif dan efesien jika itu, diaplikasinya di masyarakat dalam kondisi apapun, karena hal ini telah terjadi kesepahaman antara pemilih dan yang pilih. Yang dipilih memiliki komitmen bersama untuk selalu memperjuangkan aspirasi konstituennya.  Ataukah ini semua hanya sebuah fatamorgana dan terlalu elitism yang tidak dapat dijangkau oleh masyarakat di daerah.  Sekali lagi mungkinkah Pasca Pilkada di daerah dapat memberikan ruang bagi masyarakat untuk memiliki kedudukan, hak , dan keadilan untuk menjalankan kehidupan demokrasi  yang lebih baik.  Bahkan lebih fundamental seorang Bupati hasil Pilkada harus mampu mempertanggungjawabkan (akuntabilitas) pada rakyatnya yang telah memberikan kepercayaan kepadanya.
   
Pilkadal :  Menuju Akuntabilitas Birokrasi .

Pelaksanaan pemilihan kepala daerah langsung (Pilkadal) seharusnya memiliki tujuan yang ganda, artinya tidak hanya memilih calon saja  dan selesai, namun  selain memilih calonnya,  Pilkadal juga memiliki tujuan yang bervariasi dan sangat substantif menuju demokrasi lokal yakni,  penguatan masyarakat dalam rangka peningkatan kemampuan berdemokrasi di tingkat local, dan peningkatan harga diri masyarakat karena  sudah sekian lama termarjinalkan. Bahkan menuju sebuah demokrasi  daerah. Menurut (Prihatmoko, 2005: viii), pilkadal bukan satu satunya parameter untuk mengukur sebuah perwujudan demokrasi di daerah, melainkan diukur berdasarkan sejumlah parameter  antara lain, (1) transparansi anggaran akan lebih berorientasi pada hal-hal yang mendasar bagi terwujudnya sebuah pemilihan kepala daerah yang baik yang mensyratkan adanya keterbukaan, keterlibatan, dan kemudahan akses bagi masyarakat terhadap proses pengambilan kebijakan publik. , (2) partisipasi masyarakat dalam pengambilan kebijakan publik. Pada rana partisipasi masyarakat terhadap setiap kegiatan-kegiatan publik yang harus melibatkan masyarakat karena semakin banyak keterlibatannya pada masalah-masalah publik yang berkembang di sekitarnya, maka semakin demokratis pelaksanaan program kebijakan kepala daerahnya. (3) keseimbangan kepala daerah dan DPRD. Dalam artian bahwa dalam proses penyelenggaraan pemerintahan di daerah ,kekuasaanya tidak harus sentralistik pada DPRD saja tetapi adanya keseimbangan (check and balance) diantara masing-masing tugas yang dilaksanakannya atau lebih dikenal dengan kerja sama antara eksekutif dan legislative dalam memutuskan semua kebijakan untuk kepentingan publik (4) pelayanan birokrasi. Asumsinya adalah eksistensi sebuah pemerintahan daerah itu karena adanya masyarakat yang harus dilayani, sehingga proses penyelenggaraan pemerintah di daerah memiliki kemampuan untuk melayani masyarakat dengan prinsip yang dipakai oleh birokrasi adalah  pelayanan birokrasi yang memudahkan , transparan, responsif, dan kredibel serta adil bagi semua warga di daerah tanpa membeda-bedakan etnis, agama suku, dan afiliasi politik yang dimiliki oleh warga masyarakat . Bagaimanapun metode yang dipakai pada  pelaksanaan pilkadal harus menghasilkan pemimpin yang mampu mewujudkan parameter-parameter tersebut sebagai tujuan menuju demokrasi dan akuntabilitas birokrasi publik yang kredibel di daerah.

Pemilihan kepala daerah langsung adalah momen awal untuk memperkenalkan program kebijakan yang akan direalisasikan ketika sang calon tersebut memenangkan pesta demokrasi yang namanya pilkadal ini. Karena untuk menilai sebuah kinerja kepala daerah memang dilakukan dengan pemilihan di tingkat daerah, dengan selalu mempersoalkan janji-janji dalam kampanye pilkada. Hal tersebut harus dilakukan karena realitas masyarakat kita di daerah  atau mungkin saja ini merupakan budaya berfikir orang Indonesia bahwa dalam pemilihan umum atau sebuah pemilihan di daerah sesorang yang memilih calon presiden dan wakil preseiden, DPRD maupun kepala daerah dalam Pilkadal tidak melihat program kebijakan apa yang ditawarkan, akan tetapi lebih melihat pada figure calon atau kharismatik atau tidak calon tersebut.  Sehingga akuntabilitas dari sebuah pilkadal perlu dipertanyakan dalam pesta demokrasi sebagai awal yang baik dalam memberikan pendidikan politik pada masyarakat kita, terutama di daerah Provinsi Maluku Utara yang baru memulai pertama kalinya dengan Pilkadal tersebut.

Untuk menjelaskan mengapa pemilihan kepala daerah yang demokratis dan berhasil  sangat tergantung pada akuntabilitas birokrasi publik di daerah dengan berpandangan bahwa setiap kepemimpinan di daerah harus mampu menjawab sejauhmana pertanyaan publik . Ada beberapa alasan yang dapat dikemukakan untuk menjelaskan mengapa selama ini banyak program kebijakan pelayanan publik kurang responsive terhadap aspirasi masyarakat sehingga kurang mendapat dukungan secara luas kepada pemilihan kepala daerah .Pertama, Para kepala daerah  kebanyakan masih berorientasi kepada kekuasaan dan  bukannya kepentingan publik atau pelayanan publik secara umum. Kedua. Terdapat kesenjangan yang lebar antara apa yang diputuskan oleh kepala daerah tentang program kebijakan  apa yang benar-benar dikehendaki oleh rakyat( Kumorotomo, 2005 :7).  Pengalaman panjang yang dialami masyarakat  tersebut sudah menjadi pilpahit , sehingga membutuhkan kearifan , kejujuran, komitmen, dan demokrasi, dengan selalu melihat, mendengar, memformulasikan dalam sebuah agenda kebijakan kedepan bagi para calon kepala daerah.

Dari kedua alasan tersebut, maka sangatlah penting untuk mengagendakan sebuah format akuntabilitas dari kepala daerah dalam menata penyelenggaraan tata pemerintahan di daerah. Hal ini kemudian memberikan pemahaman bahwa akuntabilitas terilustrasi dengan sebuah pertanggungjawaban tentang sifat, sikap, perilaku, dan kebijakan dalam kerangka melaksanakan apa yang menjadi tugas dan tanggungjawabnya kepada publik. (Widodo, 2001: 147).   Pandangan tersebut tidak sekedar konsep yang dirumuskan/dibuat oleh seorang kepala daerah dan bertarung dalam Pilkada akan tetapi lebih pada bagaimana akuntabilitas itu diperlukan untuk memberikan penjelasan atas apa yang telah dilakukan atau sejauhmana kinerja atas tindakan pimpinan kepada pihak yang memiliki hak atau kewenangan untuk meminta ketertangan atau pertanggunjawaban.

Strategi Implementasi Hasil Pilkada Lewat Birokrasi.

Pasca Pilkada adalah sebuah outcome (manfaat) yang harus dinikmati oleh masyarakat karena mereka telah memberikan partisipasi politiknya  ketika dalam pemilihan kepala daerah . Walaupun  berbagai kepentingan masyarakat itu muncul pada saat yang bersamaan akan tetapi seorang kepala daerah yang terpilih harus memiliki berbagai unsur yang multidimensional yang mampu dan dapat mengayomi bebagai kepentingan masyarakat. Tanpa harus melihat dari partai mana dia berasal (baca: Ideologi ideal).

Hal ini disebabkan bahwa kepala daerah terpilih bukan lagi miliki satu partai , sebagaiman dimasa pencalonan telah menggunakan mesin politiknya, Namun lebih pada reprentasi dari semua kepentingan masyarakat,karena hal ini telah termaktub dalam aturan dan undang-undang kita di Indonesia yang meniscayakan bahwa eksekutif dan legislative adalah sebagai abdi dan tempat penyaluran aspirasi masyarakat.

Dari uraian tersebut maka ada beberapa hal yang menjadi kontrak politik sekaligus kontark pelayanan antara kepala daerah sebagai penentu kebijakan  dalam pelayanan birokrasipublik . Menurut Kusumasri  2005:91) dalam Birokrasi Publik (Purwanto & Kumorotomo,(Ed), menyatakan bahwa kontrak pelayanan adalah suatu pendekatan dalam penyelenggaraan pemerintahan pelayanan publik yang menempatkan masyarakat sebagai pusat perhatian. Dalam pengertian bahwa kebutuhan dan kepentingan masyarakat harus menjadi pertimbangan utama dalam keseluruhan proses penyelenggaraan pemerintah.  Untuk dapat memenuhi maksud tersebut,maka pertimbangan tentang keseimbangan antara hak dan kewajiban antara pemerintah, dan masyarakat serta stakeholders menjadikan sebagai kesepakatan bersama dalam proses penyelenggaraan pelayanan publik oleh pemerintah dan masyarakat sebagai pengguna jasa. Kontrak pelayanan ini sangat diperlukan karena beberapa alasan yakni:

Pertama,  untuk memberikan kepastian pelayanan yang meliputi waktu, biaya, prosedur, dan cara pelayanan kepada ,masyarakat. Kedua, memberikan informasi tentang hak dan kewajiban kepada masyarakat sebagai pengguna pelayan publik. Ketiga,  untuk mempermudah masyarakat, pengguna layanan, warga, dan stakeholders lainnya dalam mengontrol praktek penyelenggaraan pelayanan publik. Keempat, untuk mempermudah manajemen pelayanan memperbaiki kinerja penyelenggaraan pelayanan oleh pemerintah. Kelima, untuk membantu manajemen pelayanan dan mengidentifikasikan kebutuhan, harapan dan aspirasi masyarakat sebagai pengguna jasa.

Adalah suatu hal yang mutlak harus dilakukan oleh seorang kepala daerah melalui lembaga-lembaga pelayanan publik. Karena hal tersebut, telah menjadi pengalaman yang traumatis bagi  masyarakat dalam menghadapi birokrasi pelayanan publik di Indonesia . Realitas menunjukkan bahwa banyak kepala daerah yang terpilih tidak lagi mengingat kembali janji kampanye untuk mensejahterakan masyarakat dan memenuhi keinginannya. Banyak masyarakat hanya memintah pemerintah untuk tidak mempersulit di saat pelayanan publik di lembaga pemerintah.  Sehingga hal ini menjadi bahan evaluasi setiap masyarakat untuk ditujukkan kepada pemerintah. Akan tetapi hegemonitas pemerintah lebih banya pada kepentingan kekuasaan dan kepentingan kelompok saja tanpa melihat kepentingan orang banyak yang telah memilih sebagai kepala daerah dalam Pilkada. Kekuasaan yang dimiliki seakan-akan menjadi milik sendiri/personalisasi kekuasaan.
Oleh karena itu dalam Pilkadal tahun 2005 ini, diharapkan peningkatan akuntabilitas birokrasi publik di daerah, dengan berbagai program yang telah disusun untuk diimplementasikan setelah terpilih menjadi, Bupati, dan Wali Kota sebagai akuntabilitas kepada publik terhadap janji-janji selama kampanye berlangsung. Semoga ini menjadi kenyataan di lapangan.


PENUTUP

Dengan melihat berbagai kecenderungan yang terjadi dalam pelaksanaan pesta demokrasi langsung dan akuntabilitas birokrasi di Indonesia, maka ada beberapa hal yang menjadi kesimpulan sekaligus rekomendasi untuk melakukan perubahan dan solusi dari tulisan  tersebut.  Pertama, realitas menunjukkan bahwa pelaksanaan pilkada di Indonesia belum banyak menyentuh nilai-nilai demokrasi, karena masih banyak konflik yang berujung pada anarkisme dapat merusak tatanan demokrasi substantif yang muncul di setiap daerah akibat penafsiran dan pemahaman yang berbeda pula tentang pilkada . Kedua, pilkada juga memberikan ilustrasi bahwa kedaulatan rakyat masih ditangan para penguasa yang kenyataannya dapat memiliki kekuasaan dengan selalu mempertimbangkan kepentingan probadi, golongan, kelompok dan bahkan keluarga padahal, ini merupakan wakil rakyat yang secara otomatis dapat memperjuangkan kepentingan masyarakat dalam setiap rana publik. Ketiga,  Setiap program kebijakan pemerintah setelah terpilih menjadi Bupati, Wali Kota, belum optimal dilaksanakan sebagaimana janji kampanye di saat Pilkada dilaksanakan. Keempat, belum ada sebuah lembaga yang independent untuk memberikan kritik, saran dan solusi yang konstruktif dari pendaftaran sampai pada pelantikan.  Kelima, Akuntabilitas birokrasi oleh kepala daerah masih meniscayakan sebuah benturan antara pemerintah yang dipilih dan masyarakat. Artinya antara program dan praksis dilapangan belum sepenuhnya dipraktekkan oleh pemerintah.  Keenam, Belum meratanya lembaga-lembaga birokrasi, yang menggunakan sistem birokrasi pelayanan yang citizen charter yakni ada kesepahaman antara masyarakat sebagai pengguna jasa dan pemerintah sebagai provider /adanya kontrak pelayanan.  Yang terakhir rekomendasi yang harus diberikan dari tulisan ini adalah harus adanya kesejajaran visi, misi, dan program kebijakan dari setiap kepala daerah yang mampu mengimplementasikan semua apa yang dijanjikan dalam kampanye bisa sesuai dengan apa yang dirumuskan oleh kepala daerah.


DAFTAR PUSTAKA.
       
Kumorotomo, Wahyudi. 2005, Akuntabilitas Birokrasi Publik, Pustaka Pelajar dan Kerja sama  MAP UGM Jogjakarta.
Masdar Umaruddin & Hermawan Eman. 2001.  Demokrasi Bagi Pemula, Klik dan Garda Bangsa, Yogyakarta.
Prihatmoko, J. Jiko. 2005, Pemilihan Kepala Daerah Langsung; Filosofi, sistem, dan Problem Penerapan di Indonesia;  LP3M Universitas Wahid Hasyim dan Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
---------------------------, 2003.  Pemilu 2004 dan Konsolidasi Demokrasi, LP21 Press, Semarang.
Purwanto, Agus Erwan & Kumorotomo ,Wahayudi(Ed), 2005. Birokrasi Publik ;dalam sistem politik semi- parlementer, gava media, Yogyakarta.
Widodo, Joko. 2001. Good Governance; Telaah Dari Dimensi Akuntabilitas dan Kontrol Birokrasi pada Era Desentralisasi dan Otonomi Daerah, Insan Cendekia,  PPS Untag Surabaya.
Majalah Ilmiah
Eko, Sutoro, 2005.  Merayakan (Paradoks) Pilkadal, Edisi-23 Volume 10, April, FLAMMA ( Berfikir Kritis Bertindak Taktis Demi Demokrasi), IRE (institue for Research and Empowerment). Yogyakarta. 1412-6362.
                  
Perundang-Undangan.
Majelis Permusyawaratan Rakyat. 2005. Panduan Pemasyarkatan UUD RI 1945 (Sesuai dengan Urutan Bab, Pasal, dan Ayat. Sekertariat Jenderal MPR RI. Jakarta.
Media Cetak
Lihat, Kompas ,Senin 1 Agustus 2005
Lihat, Kompas, Selasa 2 Agustus 2005




Tidak ada komentar: