Oleh Saiful Deni
Pilkadal yang dilaksanakan di setiap daerah merupakan
perwujudan dari demokrasi langsung terhadap jaminan kedaulatan rakyat, yang
dapat memilih pimpinan masa depan daerah.
Dengan selalu berpandanga bahwa Pilkadal adalah wahana masyarakat
Indonesia dalam memilih kepala
daerah untuk menyampaikan visi dan misi
program kebijakan kepada masyarakat, yakni sebagai sebuah evaluasi kepala
daerah dalam mengemban amanah kepemimpinan ke depan. Bahkan antara program
kebijakan yang disampaikan harus
berbanding lurus dengan realisasi dilapangan dalam memenuhi kebutuhan
publik, sebagaimana janji-jani politik ketika kampanye. Karena itu sudah saatnya kita mengaudit
demokrasi di Indonesia.
Kata Kunci : Pilkadal. Akuntabilitas, dan Birokrasi
PENDAHULUAN
Suhu politik menjelang pemilihan kepala daerah langsung(
Pilkadal) pada bulan Juni 2005 semakin
memanas, karena melibatkan berbagai pendukung yangt variatif, yakni dimulai
dari aparat birokrat sampai pada masyarakat grass root pun memberikan dukungan
bagi pilihan calon kepala daerah mereka.
Kemudian gonjang-ganjing elit politik dan birokrat di daerah yang nyaris
mempersoalkan pemilihan kepala daerah lansung mengenai dana, tahap
penyelenggaraan, konflik antara pendukung salah satu calon dengan KPUD,
mempersoalkan netralitas PNS, membangun
dan menciptakan raja-raja kecil di daerah, bangkitnya paternalistik, dan sampai pada, apakah pilkadal adalah
sebuah pilihan menuju demokrasi lokal di daerah yang mampu memberikan solusi
bagi akuntabilitas birokrasi publik sebagai perwujudan dari Program kebijakan
calon kepala daerah yang sedang berlangsung atau pasca pemilihan ?. apakah bisa
dipertanggungjawabkan atau berbalik masyarakat sebagai pemilih melakukan pembangkangan
dan anarkis demokrasi karena ketidak sesuaian antara harapan dan kenyataan di
lapangan.
Sehingga, yang
terjadi adalah sebuah potret pelaksanaan demokrasi yang anarkis ditampilkan
diberbagai daerah di Indonesia seperti di daerah, Banyumas, Situbondo, Gowa,
Toba, Samosir, Rejang Lebong, Tanah Toraja,Kepulauan Sula, Bacan, (Halsel),
Kaur, Bima dan daerah lain (Lihat
Kompas, Selasa 2 Agustus 2005). Apakah hal tersebut disebabkan oleh masyarakat
yang memiliki pengetahuan apa adanya ataukah karena faktor lain yang
menstimulir yaitu (1) ketidakpercayaan masyarakat terhadap berbagai aturan Pilkada (2) mayarakat kita di Indonesia pun
belum siap menerima kekalahan dalam
sebuah pertarungan pesta demokrasi, (3) kegagalan partai politik. Memiliki
makna bahwa selama ini sebelum pelaksanaan Pilkada di Indonesia partai politik
yang gagal memberikan pendidikan politik pada masyarakat, padahal dalam pasal 9
UU N0 31/ 2003 tentang partai politik menyebutkan, partai politik berfungsi
sebagai sarana pendididkan politik bagi anggota dan masyarakat agar menjadi
warga negara RI yang sadar akan hak dan kewajibannya dalam bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara. Yang yang terkahir bahwa anarkis yang
menagatasnamakan demokrasi, harus melakukan introspeksi diri bagi parpol, dan
bebagai lembaga yang terkait dalam pelaksanaan Pilkada di Indonesia.
Potret lain yang di tampilkan dari wajah Pilkada adalah
Pelaksanaan nya baru berkisar 25% dari
total Pilkada yang telah diselenggarakan sampai lima tahun ke depan, kemudian
masih terbuka ruang lebar untuk memperbaiki kekurangan sejauh ada kemauan
politik (Kompas, 1 agustus 2005). Berangkat dari perspektif tersebut, maka kita
harus melakukan kritis yang konstruktif kepada pemerintah, lembaga legislative,
dan KPUD se Indonesia melalui sebuah lembaga independen yang fungsinya sebagai
pengontrol pelaksanaan Pilkada yang di mulai dari pendaftaran calon sampai pada
pelantikan hasil pilkada itu sendiri. Sehingga hal ini mengeliminir terjadi
praktek politik uang oleh para calon dan
menjamin sebuah keadilan dalam Pilkada.
Dari berbagai isu dan fenomena tersebut, idealnya sebuah
pemilihan kepala daerah harus memiliki tujuan yang jelas atau dengan kata lain
visi dan misinya dapat dipertanggungjawabkan pada masyarakat atau
konstituennya, sehingga menghasilkan pemimpin yang dalam hegemoninya mampu
membangun masyarakat menuju pada tatanan kehidupan daerah yang lebih demokratis
yaitu selalu mempraktekkan demokrasi yang substansial (nilai hakiki), dimana
demokrasi hanya bisa tegak kalau ada suatu nilai-nilai atau budaya yang
memungkinkan rakyat bisa memiliki kedaulatan dalam arti yang sesungguhnya.
Misalnya kebebasan dan budaya menghormati kebebasan orang lain, adanya
pluralisme dan toleransi, anti kekerasan dan sebagainya, dan bukan demokrasi prosedural(aturan
dan tata cara), dimana demokrasi hanya bisa tegak jika ada
prosedural-prosedural formal yang memungkinkan nilai dan budaya demokrasi ada
dan berjalan, misalnya pemilu yang bebas, adanya DPR yang kuat, dan lembaga
yudikatif yang independen, ( Masdar & Hermawan, 2001: 29), tetapi mungkinkah
bangsa Indonesia telah melaksanakan sebuah demokrasi yang substansial
yang sesuai dengan kondisi dan budaya masyarakat Indonesia ? jawabannya adalah
belum melaksanakan secara optimal dan sempurna karena yang terjadi itu adalah
praktek-praktek demokrasi prosedurall atau demokrasi ala elit politik yang
selama ini di praktekkan di negara kita.
Pada hal idealanya praktek demokrasi ini akan bermuarah pada sebuah
kekuasaan yang substanstifnya ada pada masyarakat. Artinya, kekuasaan pada hakekatnya milik rakyat (Prihatmoko, 2003 :
92) dan digunakan sepenuhnya un tuk
kepentingan dan kesejahteraan rakyat.
Karena hal ini jika dicermati dalam
paham demokrasi dikenal adagium demokrasi klasik bahwa suara rakyat adalah
suara Tuhan (Vox Populis Vox Dei).
Dengan demikian, maka sumber pembenaran kekuasaan tertinggi dalam
pelaksanaaa pemilihan kepala daerah maupun anggota dewan akuntabilitasnya harus disampaikan kepada
rakyat dan tidak dapat ditawar-tawar lagi.
Pelaksanaa pilkada
sebagai sebuah fungsi demokrasi yang prosedural juga memiliki alasan yangt kuat
karena terkait dengan dasar negara yaitu pada UUD 1945 pada pasal 18 menyatakan
bahwa pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota dilaksanakan secara demokratis,
bahkan Pilkadal secara demokratis ini juga didukung dengan Undang-Undang 32
tahun 2004 dan diperkuat oleh PP No 6 tahun 2005. Maka muncul pertanyaan “Apakah Pilkadal
menjamin akuntabilitas birokrasi publik dapat dilaksanakan dengan
prinsip-prinsip demokrasi menuju demokratisasi diberbagai lini kehidupan publik
di daerah”?. Untuk menjawab persoalan ini tentunya kita tidak bisa
berpandangan bahwa pemilihan kepala
daerah langsung itu hanya menggugurkan kewajiban dalam memilih calon kepala
daerah akan tetapi sebagai warga negara
untuk memilih calon memiliki sejumlah
alasan menuju akuntabilitas birokrasi
publik yang lebih kredibel dan memiliki nilai-nilai utama masyarakat dengan nuansa dan tatanan yang
lebih baik, tanpa ada intimidasi dari berbagai pihak dalam menjalankan kehidupan demokrasinya.
Potret lain dari masalah pelaksanaan pemilihan kepala daerah
langsung adalah belum terpenuhinya harapan masyarakat terhadap partai-partai
politik yang belum merefor-masi diri
dengan memperbaiki struktur, program dan komitmennya dalam menjalankan
demokrasi secara lebih baik. Karena
boleh jadi sebuah pesta demokrasi yang dilaksanakan di daerah telah terputusnya
hubungan antara pemilih dan partai politik dalam mendongrak partisipasi dan
keinginan masyarakat, sehingga kondisi ini Menurut ( Eko, 2005: 5 ) akan
menyebabkan dua hal; (1) terjadi
gelombang demonstrasi dan pembangkangan
untuk tidak memilih salah satu calon
yang diusung oleh partai politik; (2) menebalnya pragmatisme dengan
selalu mempraktekkan money politic.
Dari dua masalah tersebut, dalam pelaksanaan demokrasi
langsung lewat Pilkada di daerah telah menghilangkan makna strategis yang dari
sebuah demokrasi yang substantif. Tetapi sebaliknya kondisi ini memungkin
terjadi demoralisasi politik pasca
Pilkada. Artinya idealnya sebuah
pemilihan secara langsung memiliki keterkaitannya antara apa yang di sampaikan
dalam kampanye dengan berbagai program yang ditawarkan akan lebih efektif dan
efesien jika itu, diaplikasinya di masyarakat dalam kondisi apapun, karena hal
ini telah terjadi kesepahaman antara pemilih dan yang pilih. Yang dipilih
memiliki komitmen bersama untuk selalu memperjuangkan aspirasi
konstituennya. Ataukah ini semua hanya
sebuah fatamorgana dan terlalu elitism yang tidak dapat dijangkau oleh masyarakat
di daerah. Sekali lagi mungkinkah Pasca
Pilkada di daerah dapat memberikan ruang bagi masyarakat untuk memiliki
kedudukan, hak , dan keadilan untuk menjalankan kehidupan demokrasi yang lebih baik. Bahkan lebih fundamental seorang Bupati hasil
Pilkada harus mampu mempertanggungjawabkan (akuntabilitas) pada rakyatnya yang
telah memberikan kepercayaan kepadanya.
Pilkadal : Menuju
Akuntabilitas Birokrasi .
Pelaksanaan pemilihan kepala daerah langsung (Pilkadal)
seharusnya memiliki tujuan yang ganda, artinya tidak hanya memilih calon saja dan selesai, namun selain memilih calonnya, Pilkadal juga memiliki tujuan yang bervariasi
dan sangat substantif menuju demokrasi lokal yakni, penguatan masyarakat dalam rangka peningkatan
kemampuan berdemokrasi di tingkat local, dan peningkatan harga diri masyarakat
karena sudah sekian lama termarjinalkan.
Bahkan menuju sebuah demokrasi daerah.
Menurut (Prihatmoko, 2005: viii), pilkadal bukan satu satunya parameter untuk
mengukur sebuah perwujudan demokrasi di daerah, melainkan diukur berdasarkan sejumlah
parameter antara lain, (1) transparansi
anggaran akan lebih berorientasi pada hal-hal yang mendasar bagi terwujudnya
sebuah pemilihan kepala daerah yang baik yang mensyratkan adanya keterbukaan,
keterlibatan, dan kemudahan akses bagi masyarakat terhadap proses pengambilan
kebijakan publik. , (2) partisipasi masyarakat dalam pengambilan kebijakan
publik. Pada rana partisipasi masyarakat terhadap setiap kegiatan-kegiatan
publik yang harus melibatkan masyarakat karena semakin banyak keterlibatannya pada
masalah-masalah publik yang berkembang di sekitarnya, maka semakin demokratis
pelaksanaan program kebijakan kepala daerahnya. (3) keseimbangan kepala daerah
dan DPRD. Dalam artian bahwa dalam proses penyelenggaraan pemerintahan di
daerah ,kekuasaanya tidak harus sentralistik pada DPRD saja tetapi adanya
keseimbangan (check and balance) diantara masing-masing tugas yang
dilaksanakannya atau lebih dikenal dengan kerja sama antara eksekutif dan
legislative dalam memutuskan semua kebijakan untuk kepentingan publik (4)
pelayanan birokrasi. Asumsinya adalah eksistensi sebuah pemerintahan daerah itu
karena adanya masyarakat yang harus dilayani, sehingga proses penyelenggaraan
pemerintah di daerah memiliki kemampuan untuk melayani masyarakat dengan
prinsip yang dipakai oleh birokrasi adalah
pelayanan birokrasi yang memudahkan , transparan, responsif, dan
kredibel serta adil bagi semua warga di daerah tanpa membeda-bedakan etnis,
agama suku, dan afiliasi politik yang dimiliki oleh warga masyarakat .
Bagaimanapun metode yang dipakai pada
pelaksanaan pilkadal harus menghasilkan pemimpin yang mampu mewujudkan
parameter-parameter tersebut sebagai tujuan menuju demokrasi dan akuntabilitas
birokrasi publik yang kredibel di daerah.
Pemilihan kepala daerah langsung adalah momen awal untuk
memperkenalkan program kebijakan yang akan direalisasikan ketika sang calon
tersebut memenangkan pesta demokrasi yang namanya pilkadal ini. Karena untuk
menilai sebuah kinerja kepala daerah memang dilakukan dengan pemilihan di
tingkat daerah, dengan selalu mempersoalkan janji-janji dalam kampanye pilkada.
Hal tersebut harus dilakukan karena realitas masyarakat kita di daerah atau mungkin saja ini merupakan budaya
berfikir orang Indonesia bahwa dalam pemilihan umum atau sebuah pemilihan di
daerah sesorang yang memilih calon presiden dan wakil preseiden, DPRD maupun
kepala daerah dalam Pilkadal tidak melihat program kebijakan apa yang
ditawarkan, akan tetapi lebih melihat pada figure calon atau kharismatik atau
tidak calon tersebut. Sehingga
akuntabilitas dari sebuah pilkadal perlu dipertanyakan dalam pesta demokrasi
sebagai awal yang baik dalam memberikan pendidikan politik pada masyarakat
kita, terutama di daerah Provinsi Maluku Utara yang baru memulai pertama
kalinya dengan Pilkadal tersebut.
Untuk menjelaskan mengapa pemilihan kepala daerah yang
demokratis dan berhasil sangat
tergantung pada akuntabilitas birokrasi publik di daerah dengan berpandangan
bahwa setiap kepemimpinan di daerah harus mampu menjawab sejauhmana pertanyaan
publik . Ada beberapa alasan yang dapat dikemukakan untuk menjelaskan mengapa
selama ini banyak program kebijakan pelayanan publik kurang responsive terhadap
aspirasi masyarakat sehingga kurang mendapat dukungan secara luas kepada
pemilihan kepala daerah .Pertama, Para kepala daerah kebanyakan masih berorientasi kepada
kekuasaan dan bukannya kepentingan
publik atau pelayanan publik secara umum. Kedua. Terdapat kesenjangan yang
lebar antara apa yang diputuskan oleh kepala daerah tentang program
kebijakan apa yang benar-benar
dikehendaki oleh rakyat( Kumorotomo, 2005 :7).
Pengalaman panjang yang dialami masyarakat tersebut sudah menjadi pilpahit , sehingga
membutuhkan kearifan , kejujuran, komitmen, dan demokrasi, dengan selalu
melihat, mendengar, memformulasikan dalam sebuah agenda kebijakan kedepan bagi
para calon kepala daerah.
Dari kedua alasan tersebut, maka sangatlah penting untuk
mengagendakan sebuah format akuntabilitas dari kepala daerah dalam menata
penyelenggaraan tata pemerintahan di daerah. Hal ini kemudian memberikan
pemahaman bahwa akuntabilitas terilustrasi dengan sebuah pertanggungjawaban
tentang sifat, sikap, perilaku, dan kebijakan dalam kerangka melaksanakan apa
yang menjadi tugas dan tanggungjawabnya kepada publik. (Widodo, 2001: 147). Pandangan tersebut tidak sekedar konsep yang
dirumuskan/dibuat oleh seorang kepala daerah dan bertarung dalam Pilkada akan
tetapi lebih pada bagaimana akuntabilitas itu diperlukan untuk memberikan
penjelasan atas apa yang telah dilakukan atau sejauhmana kinerja atas tindakan
pimpinan kepada pihak yang memiliki hak atau kewenangan untuk meminta
ketertangan atau pertanggunjawaban.
Strategi Implementasi Hasil Pilkada Lewat Birokrasi.
Pasca Pilkada adalah sebuah outcome (manfaat) yang harus
dinikmati oleh masyarakat karena mereka telah memberikan partisipasi
politiknya ketika dalam pemilihan kepala
daerah . Walaupun berbagai kepentingan
masyarakat itu muncul pada saat yang bersamaan akan tetapi seorang kepala
daerah yang terpilih harus memiliki berbagai unsur yang multidimensional yang
mampu dan dapat mengayomi bebagai kepentingan masyarakat. Tanpa harus melihat
dari partai mana dia berasal (baca: Ideologi ideal).
Hal ini disebabkan bahwa kepala daerah terpilih bukan lagi
miliki satu partai , sebagaiman dimasa pencalonan telah menggunakan mesin
politiknya, Namun lebih pada reprentasi dari semua kepentingan
masyarakat,karena hal ini telah termaktub dalam aturan dan undang-undang kita
di Indonesia yang meniscayakan bahwa eksekutif dan legislative adalah sebagai abdi
dan tempat penyaluran aspirasi masyarakat.
Dari uraian tersebut maka ada beberapa hal yang menjadi
kontrak politik sekaligus kontark pelayanan antara kepala daerah sebagai
penentu kebijakan dalam pelayanan
birokrasipublik . Menurut Kusumasri
2005:91) dalam Birokrasi Publik (Purwanto & Kumorotomo,(Ed),
menyatakan bahwa kontrak pelayanan adalah suatu pendekatan dalam
penyelenggaraan pemerintahan pelayanan publik yang menempatkan masyarakat
sebagai pusat perhatian. Dalam pengertian bahwa kebutuhan dan kepentingan
masyarakat harus menjadi pertimbangan utama dalam keseluruhan proses
penyelenggaraan pemerintah. Untuk dapat
memenuhi maksud tersebut,maka pertimbangan tentang keseimbangan antara hak dan
kewajiban antara pemerintah, dan masyarakat serta stakeholders menjadikan
sebagai kesepakatan bersama dalam proses penyelenggaraan pelayanan publik oleh
pemerintah dan masyarakat sebagai pengguna jasa. Kontrak pelayanan ini sangat
diperlukan karena beberapa alasan yakni:
Pertama, untuk
memberikan kepastian pelayanan yang meliputi waktu, biaya, prosedur, dan cara
pelayanan kepada ,masyarakat. Kedua, memberikan informasi tentang hak dan
kewajiban kepada masyarakat sebagai pengguna pelayan publik. Ketiga, untuk mempermudah masyarakat, pengguna
layanan, warga, dan stakeholders lainnya dalam mengontrol praktek
penyelenggaraan pelayanan publik. Keempat, untuk mempermudah manajemen
pelayanan memperbaiki kinerja penyelenggaraan pelayanan oleh pemerintah.
Kelima, untuk membantu manajemen pelayanan dan mengidentifikasikan kebutuhan,
harapan dan aspirasi masyarakat sebagai pengguna jasa.
Adalah suatu hal yang mutlak harus dilakukan oleh seorang
kepala daerah melalui lembaga-lembaga pelayanan publik. Karena hal tersebut,
telah menjadi pengalaman yang traumatis bagi
masyarakat dalam menghadapi birokrasi pelayanan publik di Indonesia .
Realitas menunjukkan bahwa banyak kepala daerah yang terpilih tidak lagi
mengingat kembali janji kampanye untuk mensejahterakan masyarakat dan memenuhi
keinginannya. Banyak masyarakat hanya memintah pemerintah untuk tidak
mempersulit di saat pelayanan publik di lembaga pemerintah. Sehingga hal ini menjadi bahan evaluasi
setiap masyarakat untuk ditujukkan kepada pemerintah. Akan tetapi hegemonitas
pemerintah lebih banya pada kepentingan kekuasaan dan kepentingan kelompok saja
tanpa melihat kepentingan orang banyak yang telah memilih sebagai kepala daerah
dalam Pilkada. Kekuasaan yang dimiliki seakan-akan menjadi milik
sendiri/personalisasi kekuasaan.
Oleh karena itu dalam Pilkadal tahun 2005 ini, diharapkan
peningkatan akuntabilitas birokrasi publik di daerah, dengan berbagai program
yang telah disusun untuk diimplementasikan setelah terpilih menjadi, Bupati,
dan Wali Kota sebagai akuntabilitas kepada publik terhadap janji-janji selama
kampanye berlangsung. Semoga ini menjadi kenyataan di lapangan.
PENUTUP
Dengan melihat berbagai kecenderungan yang terjadi dalam
pelaksanaan pesta demokrasi langsung dan akuntabilitas birokrasi di Indonesia,
maka ada beberapa hal yang menjadi kesimpulan sekaligus rekomendasi untuk
melakukan perubahan dan solusi dari tulisan
tersebut. Pertama, realitas
menunjukkan bahwa pelaksanaan pilkada di Indonesia belum banyak menyentuh
nilai-nilai demokrasi, karena masih banyak konflik yang berujung pada anarkisme
dapat merusak tatanan demokrasi substantif yang muncul di setiap daerah akibat
penafsiran dan pemahaman yang berbeda pula tentang pilkada . Kedua, pilkada
juga memberikan ilustrasi bahwa kedaulatan rakyat masih ditangan para penguasa
yang kenyataannya dapat memiliki kekuasaan dengan selalu mempertimbangkan
kepentingan probadi, golongan, kelompok dan bahkan keluarga padahal, ini
merupakan wakil rakyat yang secara otomatis dapat memperjuangkan kepentingan
masyarakat dalam setiap rana publik. Ketiga,
Setiap program kebijakan pemerintah setelah terpilih menjadi Bupati,
Wali Kota, belum optimal dilaksanakan sebagaimana janji kampanye di saat
Pilkada dilaksanakan. Keempat, belum ada sebuah lembaga yang independent untuk
memberikan kritik, saran dan solusi yang konstruktif dari pendaftaran sampai
pada pelantikan. Kelima, Akuntabilitas
birokrasi oleh kepala daerah masih meniscayakan sebuah benturan antara
pemerintah yang dipilih dan masyarakat. Artinya antara program dan praksis dilapangan
belum sepenuhnya dipraktekkan oleh pemerintah.
Keenam, Belum meratanya lembaga-lembaga birokrasi, yang menggunakan
sistem birokrasi pelayanan yang citizen charter yakni ada kesepahaman antara
masyarakat sebagai pengguna jasa dan pemerintah sebagai provider /adanya
kontrak pelayanan. Yang terakhir
rekomendasi yang harus diberikan dari tulisan ini adalah harus adanya
kesejajaran visi, misi, dan program kebijakan dari setiap kepala daerah yang
mampu mengimplementasikan semua apa yang dijanjikan dalam kampanye bisa sesuai
dengan apa yang dirumuskan oleh kepala daerah.
DAFTAR PUSTAKA.
Kumorotomo, Wahyudi. 2005, Akuntabilitas Birokrasi Publik,
Pustaka Pelajar dan Kerja sama MAP UGM
Jogjakarta.
Masdar Umaruddin & Hermawan Eman. 2001. Demokrasi Bagi Pemula, Klik dan Garda Bangsa,
Yogyakarta.
Prihatmoko, J. Jiko. 2005, Pemilihan Kepala Daerah Langsung;
Filosofi, sistem, dan Problem Penerapan di Indonesia; LP3M Universitas Wahid Hasyim dan Pustaka
Pelajar, Yogyakarta.
---------------------------, 2003. Pemilu 2004 dan Konsolidasi Demokrasi, LP21
Press, Semarang.
Purwanto, Agus Erwan & Kumorotomo ,Wahayudi(Ed), 2005.
Birokrasi Publik ;dalam sistem politik semi- parlementer, gava media,
Yogyakarta.
Widodo, Joko. 2001. Good Governance; Telaah Dari Dimensi
Akuntabilitas dan Kontrol Birokrasi pada Era Desentralisasi dan Otonomi Daerah,
Insan Cendekia, PPS Untag Surabaya.
Majalah Ilmiah
Eko, Sutoro, 2005.
Merayakan (Paradoks) Pilkadal, Edisi-23 Volume 10, April, FLAMMA (
Berfikir Kritis Bertindak Taktis Demi Demokrasi), IRE (institue for Research
and Empowerment). Yogyakarta. 1412-6362.
Perundang-Undangan.
Majelis Permusyawaratan Rakyat. 2005. Panduan Pemasyarkatan
UUD RI 1945 (Sesuai dengan Urutan Bab, Pasal, dan Ayat. Sekertariat Jenderal
MPR RI. Jakarta.
Media Cetak
Lihat, Kompas ,Senin 1 Agustus 2005
Lihat, Kompas, Selasa 2 Agustus 2005
Tidak ada komentar:
Posting Komentar