Halaman

Sabtu, 23 Juni 2012

MENYOAL HAK-HAK PELAYANAN PUBLIK DALAM PEMBANGUNAN MASYARAKAT


Oleh Saiful Deni


Di era globalisasi dan informasi, kini ditandai oleh perkembangan dinamika masyarakat yang begitu cepat dan didorong oleh akulturasi budaya, ilmu pengetahuan, dan teknologi yang menyeruak ke berbagai sektor kehidupan. Hal tersebut mengakibatkan warga bangsa dan negara berubah orientasi dalam kehidupan sehari-hari, bahkan sampai pada penyelenggara negara dengan menerapkan cara bersaing survival of the all, atau mempertahankan  hidup dari semua persoalan yang dihadapi negara maupun warga bangsa dalam penyelenggaraan negara. Fenomena ini muncul sebagai paradigma yang berorientasi pada materialisme. Dengan kata lain, seseorang itu bisa hidup dengan layak dan dapat memenuhi hak-hak dasar jika menganut faham ideologi kapitalisme karena menjanjikan sebuah kehidupan yang layak. 


Bagi (Petras & Veltmeyer,2001), era ini yang berkuasa bukan lagi para politisi atau negarawan, tapi bos besar yang memiliki modal (kapitalisme). Dari sinilah perilaku penyelenggara negara dalam melayani masyarakat lebih banyak berorientasi pada kepentingan kekuasaan dengan menumpuk harta kekayaan, memiliki kepentingan pribadi, keluarga, dan konco-konconya, sehingga menghilangkan hak-hak publik lainnya dalam proses pemenuhan kebutuhan warga bangsa.  Artinya, persoalan menumpuk yang dihadapi oleh warga bangsa dengan berbagai bentuk  keluhan berupa pelayanan hak-hak publik yang berbelit-belit, lambat, tidak ada transparansi biaya dan waktu, inefesiensi, sikap acuh tak acuh pada pengguna jasa, dan berbagai keluhan yang disampaikan kepada penyelenggara negara.

 Perspektif Cheryl Simrell King & Carmilla Stivers (1998) dalam “Government Is Us” memaparkan bahwa era sekarang ditandai oleh munculnya berbagai problema yang dihadapi masyarakat yakni ketidakpuasan, ketidakpastian, dan ketidakpercayaan masyarakat pada pemerintah dalam proses pemenuhan hak-hak publik. Dengan meminjam gagasan kedua penulis, warga negara yang memiliki pekerjaan petani, nelayan, tukang becak, tukang ojek, pemulung, orang hidup di stasiun kereta api, di bawah jembatan, di hamparan batangan sungai, sejatinya disebut sebagai pemerintah.

Jika dikaitkan dengan model pemerintahan baru (Good Governance), maka peran pembangunan tidak hanya dilakukan oleh negara melainkan juga yang bersifat sinergis antara negara, swasta, dan masyarakat (civil society). Artinya, masyarakat juga mempunyai andil dalam proses pembangunan. Mencermati secara filosofis bahwa substansi pemerintah dan negara yang eksis disebabkan  ada masyarakat sebagai objek yang harus dilayani untuk kepentingan bersama menuju pembangunan masyarakat yang berkeadilan, bermartabat, dan akuntabel di dalam memenuhi hak-hak pelayanan publik. Hal ini harus dibenahi sejak dini karena acap kali terjadi konflik antara negara dan masyarakat disebabkan oleh tidak berimbangnya peran pembangunan yang dilakukan antara negara yang dominan, dan tersingkirnya eksistensi partisipasi masyarakat. Sebenarnya, masyarakat sebagai unsur selalu mengontrol setiap kebijakan yang diputuskan pemerintah.

Tetapi, keberpihakan pemerintah lebih cenderung pada para elit politik atau penguasa, dan kepentingan kelompok bahkan pribadi daripada kepentingan akar rumput (grass root) masyarakat kelas bawah. Seharusnya, negara dalam posisi yang sama sebagai provider dalam melakukan semua kepentingan masyarakat, bangsa dan negara harus memiliki sensivitas yang tinggi untuk merespon setiap persoalan yang dihadapi oleh masyarakat bangsa.

Negara dan pemerintah harus mengetahui apa yang menjadi kewajiban yang seharusnya dikerjakan dalam pembangunan bangsa. Sebaliknya, masyarakat perlu mengetahui hal-hal apa saja yang menjadi hak-hak pelayanan publik, yang harus diraih secara adil bagi semua warga bangsa tanpa melihat warna kulit, agama, asal-usul afiliasi politik, dan sejenisnya. Dengan demikian, substansi permasalahannya lebih pada proses yang adil dalam pemenuhan hak-haknya.  Yang menjadi dasar hukum  tentang hak-hak pelayanan publik yaitu kemanusiaan yang adil dan beradab serta keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia (Pembukaan Undang-undang Dasar alinea IV) yang diperkuat dengan batang tubuh Undang-undang Dasar 1945 pada pasal 27 ayat 1dan 2 menegaskan bahwa segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. Kedua dasar pijakan tersebut memberikan peluang untuk pemenuhan hak-hak dasar sebagai warga negara bangsa dan negara. Dalam hal ini harus melaksanakan kewajiban kepada masyarakat secara transparan dalam mewujudkan isi dari pijakan dasar negara Indonesia.

Realitas memberikan isyarat bahwa pelaksanaan kewajiban negara tentang hak-hak dasar tersebut belum sepenuhnya dipenuhi dalam penyelenggaraan pelayanan pada publik.  Dengan mengungkapkan beberapa survey dan hasil penelitian tentang buruknya pelayanan publik di Indonesia dalam pemenuhan hak-hak pelayanan publik. Berdasarkan Laporan The World Competitiveness Year 1999 dari 100 negara, Indonesia memiliki kualitas pelayanan yang paling rendah (8,88%). Semakin rendah angka tersebut, menunjukkan semakin buruk kualitas pelayanan (Cullen & Cushman dalam Dwiyanto, 2002).  Sementara itu, hak-hak Pelayanan publik sebelum reformasi menunjukkan 3,5%, justru dianggap paling rendah, demikian Ulbert Silalahi mengungkapkannya (Utomo, 2003). Dalam Governanace and Desentralization Survey membuktikan bahwa pelayanan dalam memenuhi hak-hak publik di era otonomi daerah tidak banyak mengalami perubahan, tetap saja buruk sebagaimana sebelumnya (GDS 2002-2004).

Dalam wajah yang berbeda, hak-hak dasar dalam proses pelayanan publik secara umum juga memberikan ilustrasi belum optimalnya pemerintah menaruh perhatian, seperti masalah pemenuhan kebutuhan tentang fasilitas umum misalnya masih kurangnya WC umum, memperbaiki kerusakan telepon umum, masih kurangnya jumlah bis umum sehingga dapat melahirkan kemacetan jalan.

Berbagai persoalan yang dihadapi negara dan warga bangsa tersebut, memunculkan berbagai tanda tanya untuk diberikan solusi yang tepat dan tertanggungjawab. Dalam merespon semua tuntutan hak-hak warga bangsa dan bagaimana kewajiban negara untuk membela dan memajukan hak-hak pada sebuah framework pembangunan masyarakat adalah sesuatu yang substantif. Mempertahankan hidup warga bangsa dalam hal pemenuhan hak-hak dasar tidak sekedar hak ekonomi, sosial, dan budaya akan tetapi lebih komprehensif yang mencakup semua kepentingan publik secara umum.

Dalam pandangan (Chesney, 2003), persoalan hak-hak asasi manusia tidak hanya urusan secara fisik, seperti pembunuhan atau kekerasan yang terjadi selama ini, akan tetapi ternyata memperjuangkan hak-hak asasi warga bangsa itu lebih luas, yang menyangkut dengan pelayanan kesehatan dan sistem pendidikan. Bagaimana cara negara mengimplementasikan hak-hak asasi publik secara adil dan selalu menyamakan hak-hak yang sama terhadap semua warga negara.

Menurut Frederickson (Sulistiyani & Rosida, 2003), negara dalam pemenuhan hak-hak publik harus berorientasi pada lima makna  publik, antara lain (1) sudut pandang pluralis, yang menyatakan bahwa publik adalah merupakan kelompok kepentingan. (2) pilihan publik, menilai bahwa publik adalah sesuatu pilihan yang rasional. (3) sudut pandang legislatif menyatakan bahwa publik adalah keterwakilan. (4) dari perspektif dan sudut pandang penyelenggaraan pelayanan memaknai publik adalah pelanggan dari sebuah pelayanan, dan yang terakhir dari sisi kewarganegaraan, maka publik dipahami sebagai warga negara. Pemaknaan terhadap falsafah publik dapat menghantarkan sebuah keputusan negara dan penyelengaraan pembangunan masyarakat berpihak pada hak-hak pelayanan publik yang tertanggungjawab dan selalu memihak kepada rakyat.


Strategi Hak-hak Publik dalam Community Development

Menuju pemerintahan yang baik (good governance), membutuhkan kerja keras semua stakeholders di berbagai komponen sebagai penyelenggara negara dalam mencapai suatu konsep pembangunan masyarakat yang dicita-citakan. Konsep pembangunan masyarakat tersebut harus selalu bermuara pada pengembangan sumber daya manusia yang  berdimensi human center development (Tjokrowinoto, 2001). Artinya, pembangunan masyarakat lebih diorientasikan pada  pembangunan kemanusiaan dengan menghasilkan penyelenggara pelayanan (service provider) publik yang produktif, akuntabel, responsif, inovatif, kreatif, dan mempunyai etika dan moralitas, berkemampuan profesionalisme tinggi dan mempertanggungjawabkan berbagai hal yang telah dikerjakannya.

Mewujudkan sebuah visi dan misi negara dalam lingkup yang besar, seperti terwujudnya masyarakat yang maju, mandiri, sejahtera dan adil (Nugroho,2003), membutuhkan strategi yang handal, meskipun akan menjadi tantangan dalam proses formulasinya. Pembangunan masyarakat (community development) dalam  praktek hak-hak pelayanan publik harus menyentuh isu-isu demokratisasi pada era reformasi. Era tersebut menurut (Nuh, 2004) setidaknya pemerintah mempunyai pandangan (1) mengenai sikap birokrasi pemerintah dalam pemberian pelayanan publik atau dalam mensikapi berbagai hak-hak dasar yang harus diberikan kepada masyarakat sebagai pengguna jasa, (2) mengenai terselenggaranya atau tidaknya hak-hak  publik dalam penyelenggaraan pelayanan publik, (3) mengenai partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan pelayanan publik, dan (4) ada atau tidaknya kekuatan hukum yang dimiliki oleh publik atas hak-haknya dalam penyelenggaraan publik.

Keempat aspek itu merupakan fungsi pemerintah sebagai yang berkemampuan dalam membangun masyarakat Indonesia dari bawah bottom-up atau dari masyarakat itu sendiri. Peranan birokrasi pelayananan pembangunan dan pemberdayaan masyarakat  memiliki tiga fungsi (Rashid, 2000). Pertama, memberikan pelayanan umum (service) yang bersifat rutinitas kepada masyarakat seperti memberikan pelayanan perijinan, pembuatan dokumen, perlindungan, pemeliharaan fasilitas umum pemeliharaan kesehatan, dan penyediaan jaminan keamanan bagi penduduk. Kedua, melakukan pemberdayaan (empowerment) terhadap masyarakat untuk mencapai kemajuan dalam kehidupan lebih baik, seperti melakukan pembimbingan, pendampingan, konsultasi, menyediakan modal dan fasilitas usaha, serta melaksanakan pendidikan. Ketiga, menyelenggarakan pembangunan di tengah masyarakat seperti membangun infrastruktur perhubungan, telekomunikasi, perdagangan dan sebagainya.

Dengan demikian, untuk dapat melaksanakan ketiga fungsi dalam strategi pemenuhan kebutuhan  dari hak-hak pelayanan publik, maka birokrasi pelayanan harus menempatkan diri sesuai dengan kondisi dan tahap perkembangan masyarakat yang kita hadapi, sehingga tidak heran jika (Setiono, 2004) mengatakan bahwa peran birokrasi pelayanan dalam pembangunan masyarakat sebagai pihak yang membangkitkan masyarakat dalam mendorong, memfasilitasi, mengelola ide-ide, dan kegiatan pembangunan di tengah-tengah masyarakat.  Sedangkan, metode yang digunakan adalah melakukan dialog yang menghasilkan kesadaran individu, menciptakan iklim yang kondusif bagi berkembangnya ide dan gagasan masyarakat, memberikan subsidi fasilitas pembangunan atau pelayanan secara umum.

Dari perspektif ini, persoalan hak-hak pelayanan publik membangun sebuah masyarakat yang sejahtera (walfare), adil, (equity), dan akuntabel serta transparan dapat dilakukan ketika semua stakeholders sebagai aktor kebijakan dalam menentukan arah perkembangan dan kemajuan negara dan masyarakat tergantung pada political will pemerintah dalam menata ulang pembangunan (reinventing development).  Di mana, hal tersebut selalu mempertimbangkan persaingan kompetitif oleh dunia secara eksternal.

Strategi Kebijakan

Untuk agenda kedepan, pemerintahan kita harus membuat sebuah aturan yang mengikat antara pengguna jasa masyarakat dan penyelenggara (provider) dalam proses pemenuhan hak-hak pelayanan publik dalam berpartisipasi untuk mendukung pembangunan masyarakat dan penyediaan fasilitas pelayanan, kepemimpinan yang aspiratif, aparat birokrat yang profesional dan perbaikan kelembagaan serta kemauan baik dari para pejabat politik untuk selalu melihat semua kebutuhan dan hak-hak publik dalam proses pembangunan.

Tidak ada komentar: