Oleh Saiful Deni
Di era globalisasi dan informasi, kini ditandai oleh
perkembangan dinamika masyarakat yang begitu cepat dan didorong oleh akulturasi
budaya, ilmu pengetahuan, dan teknologi yang menyeruak ke berbagai sektor
kehidupan. Hal tersebut mengakibatkan warga bangsa dan negara berubah orientasi
dalam kehidupan sehari-hari, bahkan sampai pada penyelenggara negara dengan
menerapkan cara bersaing survival of the all, atau mempertahankan hidup dari semua persoalan yang dihadapi
negara maupun warga bangsa dalam penyelenggaraan negara. Fenomena ini muncul
sebagai paradigma yang berorientasi pada materialisme. Dengan kata lain,
seseorang itu bisa hidup dengan layak dan dapat memenuhi hak-hak dasar jika
menganut faham ideologi kapitalisme karena menjanjikan sebuah kehidupan yang
layak.
Bagi (Petras & Veltmeyer,2001), era ini yang berkuasa
bukan lagi para politisi atau negarawan, tapi bos besar yang memiliki modal
(kapitalisme). Dari sinilah perilaku penyelenggara negara dalam melayani
masyarakat lebih banyak berorientasi pada kepentingan kekuasaan dengan menumpuk
harta kekayaan, memiliki kepentingan pribadi, keluarga, dan konco-konconya,
sehingga menghilangkan hak-hak publik lainnya dalam proses pemenuhan kebutuhan
warga bangsa. Artinya, persoalan
menumpuk yang dihadapi oleh warga bangsa dengan berbagai bentuk keluhan berupa pelayanan hak-hak publik yang
berbelit-belit, lambat, tidak ada transparansi biaya dan waktu, inefesiensi,
sikap acuh tak acuh pada pengguna jasa, dan berbagai keluhan yang disampaikan
kepada penyelenggara negara.
Perspektif Cheryl
Simrell King & Carmilla Stivers (1998) dalam “Government Is Us” memaparkan
bahwa era sekarang ditandai oleh munculnya berbagai problema yang dihadapi
masyarakat yakni ketidakpuasan, ketidakpastian, dan ketidakpercayaan masyarakat
pada pemerintah dalam proses pemenuhan hak-hak publik. Dengan meminjam gagasan
kedua penulis, warga negara yang memiliki pekerjaan petani, nelayan, tukang
becak, tukang ojek, pemulung, orang hidup di stasiun kereta api, di bawah
jembatan, di hamparan batangan sungai, sejatinya disebut sebagai pemerintah.
Jika dikaitkan dengan model pemerintahan baru (Good
Governance), maka peran pembangunan tidak hanya dilakukan oleh negara melainkan
juga yang bersifat sinergis antara negara, swasta, dan masyarakat (civil
society). Artinya, masyarakat juga mempunyai andil dalam proses pembangunan.
Mencermati secara filosofis bahwa substansi pemerintah dan negara yang eksis
disebabkan ada masyarakat sebagai objek
yang harus dilayani untuk kepentingan bersama menuju pembangunan masyarakat
yang berkeadilan, bermartabat, dan akuntabel di dalam memenuhi hak-hak
pelayanan publik. Hal ini harus dibenahi sejak dini karena acap kali terjadi konflik
antara negara dan masyarakat disebabkan oleh tidak berimbangnya peran
pembangunan yang dilakukan antara negara yang dominan, dan tersingkirnya
eksistensi partisipasi masyarakat. Sebenarnya, masyarakat sebagai unsur selalu
mengontrol setiap kebijakan yang diputuskan pemerintah.
Tetapi, keberpihakan pemerintah lebih cenderung pada para
elit politik atau penguasa, dan kepentingan kelompok bahkan pribadi daripada
kepentingan akar rumput (grass root) masyarakat kelas bawah. Seharusnya, negara
dalam posisi yang sama sebagai provider dalam melakukan semua kepentingan
masyarakat, bangsa dan negara harus memiliki sensivitas yang tinggi untuk
merespon setiap persoalan yang dihadapi oleh masyarakat bangsa.
Negara dan pemerintah harus mengetahui apa yang menjadi kewajiban
yang seharusnya dikerjakan dalam pembangunan bangsa. Sebaliknya, masyarakat
perlu mengetahui hal-hal apa saja yang menjadi hak-hak pelayanan publik, yang
harus diraih secara adil bagi semua warga bangsa tanpa melihat warna kulit,
agama, asal-usul afiliasi politik, dan sejenisnya. Dengan demikian, substansi
permasalahannya lebih pada proses yang adil dalam pemenuhan hak-haknya. Yang menjadi dasar hukum tentang hak-hak pelayanan publik yaitu
kemanusiaan yang adil dan beradab serta keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia (Pembukaan Undang-undang Dasar alinea IV) yang diperkuat dengan
batang tubuh Undang-undang Dasar 1945 pada pasal 27 ayat 1dan 2 menegaskan
bahwa segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan
pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada
kecualinya. Kedua dasar pijakan tersebut memberikan peluang untuk pemenuhan
hak-hak dasar sebagai warga negara bangsa dan negara. Dalam hal ini harus
melaksanakan kewajiban kepada masyarakat secara transparan dalam mewujudkan isi
dari pijakan dasar negara Indonesia.
Realitas memberikan isyarat bahwa pelaksanaan kewajiban
negara tentang hak-hak dasar tersebut belum sepenuhnya dipenuhi dalam
penyelenggaraan pelayanan pada publik.
Dengan mengungkapkan beberapa survey dan hasil penelitian tentang
buruknya pelayanan publik di Indonesia dalam pemenuhan hak-hak pelayanan
publik. Berdasarkan Laporan The World Competitiveness Year 1999 dari 100
negara, Indonesia memiliki kualitas pelayanan yang paling rendah (8,88%).
Semakin rendah angka tersebut, menunjukkan semakin buruk kualitas pelayanan
(Cullen & Cushman dalam Dwiyanto, 2002).
Sementara itu, hak-hak Pelayanan publik sebelum reformasi menunjukkan
3,5%, justru dianggap paling rendah, demikian Ulbert Silalahi mengungkapkannya
(Utomo, 2003). Dalam Governanace and Desentralization Survey membuktikan bahwa
pelayanan dalam memenuhi hak-hak publik di era otonomi daerah tidak banyak
mengalami perubahan, tetap saja buruk sebagaimana sebelumnya (GDS 2002-2004).
Dalam wajah yang berbeda, hak-hak dasar dalam proses
pelayanan publik secara umum juga memberikan ilustrasi belum optimalnya
pemerintah menaruh perhatian, seperti masalah pemenuhan kebutuhan tentang
fasilitas umum misalnya masih kurangnya WC umum, memperbaiki kerusakan telepon
umum, masih kurangnya jumlah bis umum sehingga dapat melahirkan kemacetan
jalan.
Berbagai persoalan yang dihadapi negara dan warga bangsa
tersebut, memunculkan berbagai tanda tanya untuk diberikan solusi yang tepat
dan tertanggungjawab. Dalam merespon semua tuntutan hak-hak warga bangsa dan
bagaimana kewajiban negara untuk membela dan memajukan hak-hak pada sebuah
framework pembangunan masyarakat adalah sesuatu yang substantif. Mempertahankan
hidup warga bangsa dalam hal pemenuhan hak-hak dasar tidak sekedar hak ekonomi,
sosial, dan budaya akan tetapi lebih komprehensif yang mencakup semua
kepentingan publik secara umum.
Dalam pandangan (Chesney, 2003), persoalan hak-hak asasi
manusia tidak hanya urusan secara fisik, seperti pembunuhan atau kekerasan yang
terjadi selama ini, akan tetapi ternyata memperjuangkan hak-hak asasi warga
bangsa itu lebih luas, yang menyangkut dengan pelayanan kesehatan dan sistem
pendidikan. Bagaimana cara negara mengimplementasikan hak-hak asasi publik
secara adil dan selalu menyamakan hak-hak yang sama terhadap semua warga
negara.
Menurut Frederickson (Sulistiyani & Rosida, 2003),
negara dalam pemenuhan hak-hak publik harus berorientasi pada lima makna publik, antara lain (1) sudut pandang
pluralis, yang menyatakan bahwa publik adalah merupakan kelompok kepentingan.
(2) pilihan publik, menilai bahwa publik adalah sesuatu pilihan yang rasional.
(3) sudut pandang legislatif menyatakan bahwa publik adalah keterwakilan. (4)
dari perspektif dan sudut pandang penyelenggaraan pelayanan memaknai publik
adalah pelanggan dari sebuah pelayanan, dan yang terakhir dari sisi
kewarganegaraan, maka publik dipahami sebagai warga negara. Pemaknaan terhadap
falsafah publik dapat menghantarkan sebuah keputusan negara dan penyelengaraan
pembangunan masyarakat berpihak pada hak-hak pelayanan publik yang
tertanggungjawab dan selalu memihak kepada rakyat.
Strategi Hak-hak Publik dalam Community Development
Menuju pemerintahan yang baik (good governance), membutuhkan
kerja keras semua stakeholders di berbagai komponen sebagai penyelenggara
negara dalam mencapai suatu konsep pembangunan masyarakat yang dicita-citakan.
Konsep pembangunan masyarakat tersebut harus selalu bermuara pada pengembangan
sumber daya manusia yang berdimensi human
center development (Tjokrowinoto, 2001). Artinya, pembangunan masyarakat lebih
diorientasikan pada pembangunan
kemanusiaan dengan menghasilkan penyelenggara pelayanan (service provider)
publik yang produktif, akuntabel, responsif, inovatif, kreatif, dan mempunyai
etika dan moralitas, berkemampuan profesionalisme tinggi dan
mempertanggungjawabkan berbagai hal yang telah dikerjakannya.
Mewujudkan sebuah visi dan misi negara dalam lingkup yang
besar, seperti terwujudnya masyarakat yang maju, mandiri, sejahtera dan adil
(Nugroho,2003), membutuhkan strategi yang handal, meskipun akan menjadi
tantangan dalam proses formulasinya. Pembangunan masyarakat (community
development) dalam praktek hak-hak
pelayanan publik harus menyentuh isu-isu demokratisasi pada era reformasi. Era
tersebut menurut (Nuh, 2004) setidaknya pemerintah mempunyai pandangan (1)
mengenai sikap birokrasi pemerintah dalam pemberian pelayanan publik atau dalam
mensikapi berbagai hak-hak dasar yang harus diberikan kepada masyarakat sebagai
pengguna jasa, (2) mengenai terselenggaranya atau tidaknya hak-hak publik dalam penyelenggaraan pelayanan
publik, (3) mengenai partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan pelayanan
publik, dan (4) ada atau tidaknya kekuatan hukum yang dimiliki oleh publik atas
hak-haknya dalam penyelenggaraan publik.
Keempat aspek itu merupakan fungsi pemerintah sebagai yang
berkemampuan dalam membangun masyarakat Indonesia dari bawah bottom-up atau
dari masyarakat itu sendiri. Peranan birokrasi pelayananan pembangunan dan pemberdayaan
masyarakat memiliki tiga fungsi (Rashid,
2000). Pertama, memberikan pelayanan umum (service) yang bersifat rutinitas
kepada masyarakat seperti memberikan pelayanan perijinan, pembuatan dokumen,
perlindungan, pemeliharaan fasilitas umum pemeliharaan kesehatan, dan
penyediaan jaminan keamanan bagi penduduk. Kedua, melakukan pemberdayaan
(empowerment) terhadap masyarakat untuk mencapai kemajuan dalam kehidupan lebih
baik, seperti melakukan pembimbingan, pendampingan, konsultasi, menyediakan
modal dan fasilitas usaha, serta melaksanakan pendidikan. Ketiga,
menyelenggarakan pembangunan di tengah masyarakat seperti membangun
infrastruktur perhubungan, telekomunikasi, perdagangan dan sebagainya.
Dengan demikian, untuk dapat melaksanakan ketiga fungsi dalam
strategi pemenuhan kebutuhan dari
hak-hak pelayanan publik, maka birokrasi pelayanan harus menempatkan diri
sesuai dengan kondisi dan tahap perkembangan masyarakat yang kita hadapi,
sehingga tidak heran jika (Setiono, 2004) mengatakan bahwa peran birokrasi
pelayanan dalam pembangunan masyarakat sebagai pihak yang membangkitkan
masyarakat dalam mendorong, memfasilitasi, mengelola ide-ide, dan kegiatan
pembangunan di tengah-tengah masyarakat.
Sedangkan, metode yang digunakan adalah melakukan dialog yang
menghasilkan kesadaran individu, menciptakan iklim yang kondusif bagi
berkembangnya ide dan gagasan masyarakat, memberikan subsidi fasilitas
pembangunan atau pelayanan secara umum.
Dari perspektif ini, persoalan hak-hak pelayanan publik
membangun sebuah masyarakat yang sejahtera (walfare), adil, (equity), dan
akuntabel serta transparan dapat dilakukan ketika semua stakeholders sebagai
aktor kebijakan dalam menentukan arah perkembangan dan kemajuan negara dan
masyarakat tergantung pada political will pemerintah dalam menata ulang
pembangunan (reinventing development).
Di mana, hal tersebut selalu mempertimbangkan persaingan kompetitif oleh
dunia secara eksternal.
Strategi Kebijakan
Untuk agenda kedepan, pemerintahan kita harus membuat sebuah
aturan yang mengikat antara pengguna jasa masyarakat dan penyelenggara
(provider) dalam proses pemenuhan hak-hak pelayanan publik dalam berpartisipasi
untuk mendukung pembangunan masyarakat dan penyediaan fasilitas pelayanan,
kepemimpinan yang aspiratif, aparat birokrat yang profesional dan perbaikan
kelembagaan serta kemauan baik dari para pejabat politik untuk selalu melihat
semua kebutuhan dan hak-hak publik dalam proses pembangunan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar